Edge of Desire : The End

09.23

"Kok cuma diliatin gitu sih? Angkat dong."

Gue menunjukan hp gue ke Ani.

"Menurut mu, perlu aku angkat tidak?" Tanya gue.

"Hm.. terserah kamu aja sih, tapi feeling ku mengatakan kalau dia ada hal penting untuk dibicarakan."

"Baiklah, aku akan menurutimu kali ini saja."

"Good boy."

"Jangan panggil aku seperti anjing."

"Ya, udah cepat angkat. Keburu telefonnya mati."

Telefon itu gue angkat, Ayu langsung berkata bahwa kami harus bertemu karena ada hal yang sangat penting yang ingin dia bicarakan. Pertama gue sempet menolak tapi dia tetap bersikeras untuk bertemu, akhirnya kami sepakat untuk bertemu di cafe mocca jam 8 nanti. Setelah itu gue langsung tutup telefonnya.

"Gimana? Feeling ku benar, kan?"

"Yup, i admit it. Kita akan bertemu jam 8 nanti. Katanya ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan."

"Kira-kira apa, ya?"

"Entahlah, tunggu saja kabarku nanti."


Kami berpisah dan gue langsung menuju ke cafe yang gue dan Ayu sepakati. Dalam perjalanan gue terus-terus memikirkan apa yang 'sangat penting' sampai Ayu mengajak gue bertemu. Memikirkannya membuat jantung gue berdegug kencang. Apakah ini soal hubungan kita dulu? Apakah dia ingin meminta maaf? Banyak pertanyaan yang terlintas dipikiran gue.

Sekarang kami bertatap muka, memandangi mata masing-masing. Keadaan tersebut bertahan selama beberapa menit. Minuman yang kami pesan masih tertata rapi di depan kami, menunggu untuk diminum. Dengan memandang matanya, kenangan yang sudah gue lupakan kembali seketika.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Ayu kepada gue.

"Seperti yang kau lihat, baik-baik saja."

"Kamu baik-baik saja setelah band-mu bubar?"

"Ya, sepertinya begitu. Hal penting apa yang ingin kamu bicarakan?"

"Hm.. aku tidak menyangka sampai sejauh ini."

"Hah? Apa yang kamu bicarakan?"

"Gede tidak menjelaskan apa-apa kepadamu?"

"Tidak, kenapa?"

"Baiklah, akan kuceritakan semuanya. Di hari itu aku mengaku selingkuh."

"Ya, lalu? Dengan Gede, kan?"

"Sayangnya bukan. Aku selingkuh dengan laki-laki lain yang memakai jaket sama seperti punya Gede. Dia memergoki aku saat aku bermesraan dengan selingkuhanku."

"Hah? Ini lelucon kan?"

"Enggak, aku serius," kata Ayu dengan tatapan tajam.

"Lalu kenapa pada hari itu kamu bertemu dengan Gede di cafe ini?"

"Itu.. Aku memohon kepada Gede untuk tidak memberitahukannya kepadamu. Aku berkata kepada Gede bahwa aku yang akan mengatakannya sendiri."

"Yang kamu ceritakan ini semuanya benar?"

"Ya, 100%. Karena itu aku minta maaf. Aku tidak tahu akan menghancurkan band kalian. "

Gue berdiri dan langsung buru-buru telfon ke Gede, tapi tidak diangkat. Gue coba telefon lagi, tetap saja tidak diangkat. Tanpa pikir panjang gue langsung menyalakan motor dan menuju ke rumah Gede. Gue harus minta maaf. Kenapa dia tidak berkata seperti itu dari dulu? Apakah dia takut kalau aku tidak akan mempercayainya? Otak gue udah panas karena banyak berpikir hari ini. Di tengah jalan telefon gue berbunyi, dari Ani. Ah, pasti bukan sesuatu yang penting. Gue mengaktifkan mode silent di hp agar tidak diganggu lagi. Yang penting sekarang adalah meminta maaf.

Gue sampai di rumah Gede, gue ngerasa kaya sudah lama banget tidak main ke rumah ini. Sepertinya Gede sedang pergi mengurus proyek, karena lampu-lampu di luar belum juga dinyalakan. Gue tunggu di depan rumah sambil menyalakan sebatang rokok. Sudah lama banget gue tunggu, tapi tetap tidak ada. Gue baru sadar ternyata motornya di taruh di luar. Bodo banget. Gue dekati dan ternyata di luar sudah tergeletak sepatunya. Gue pun langsung mengetuk pintunya.

"Gede! Ini aku! Cepat buka pintunya!" Kata gue sambil terus mengetuk pintunya. Gue keraskan lagi suaranya tapi tetap tidak ada jawaban. Anak ini lagi kemana sih? Gue coba buka pintunya dan terbuka. Gede memang teledor, mungkin dia terlalu sibuk menggambar. Lampu-lampu di dalam rumah pun masih mati, hanya lampu di ruang studio yang kelihatan menyala. Gue pun menyalakan lampu-lampu yang lain.

"Gede! Gue di rumah! Gue perlu ngomong sesuatu!" Tetap tidak ada jawaban. Gue pun langsung naik ke studio-nya. Saat gue mau putar gagang pintunya, tidak bisa. Pintunya terkunci. Aneh banget si Gede.

Gue terus memanggil sambil mengetuk pintu studio. Tetap tidak ada jawaban. Perasaan gue jadi tidak enak. Pintu tersebut akhirnya gue dobrak, dan yang terlihat disana adalah Gede yang sudah tergantung.

Dengan panik gue langsung telefon polisi.

...

Polisi datang setelah gue menelefonnya, rumah itu diberi garis polisi, dan mereka mengidentifikasi mayat-nya. Gue dimintai keterangan oleh polisi karena gue yang pertama kali menemukannya. Proses itu sangat panjang dan baru selesai saat pagi hari. Gue lelah banget, gue sampai ke kost dengan sempoyongan. Gue masih tidak yakin kalau Gede bunuh diri. Gue duduk di luar kost gue sebentar untuk bisa fokus, baru gue kembali ke kamar. Yang bikin kaget lagi adalah ada Ani di depan kamar gue, duduk menundukan kepala sambil membawa koper besar.

"Kamu ngapain disini?" Tanya gue keheranan.

"Kenapa kamu tidak menjawab telefonku?" Ani masih belum mengangkat kepalanya.

"Tadi aku lagi sibuk. Lagian bukan hal yang penting kan?"

"Coba lihat ini! Tidak kah ini penting?" Ia mengangkat kepalanya sambil menunjuk ke wajahnya. Wajahnya biru-biru penuh dengan memar.

"Apa yang terjadi?"

"Kita ketahuan.. Suamiku menyuruhku untuk memanggilmu, aku sudah berusaha berkali-kali menelfonmu tapi tidak kamu angkat."

"Kamu hanya menelfonku sekali."

"Coba lihat hp mu."

Ternyata Ani sudah menelfon sebanyak 25 kali dan gue tidak sadar sama sekali.

"Kamu harusnya angkat telefon itu! Kamu.. Kamu.. Harusnya ada disana!" Kata dia sambil menangis tersedu-sedu. Gue pun ikut menangis mendengarkan ceritanya. Gue memeluknya, dia menangis di pundak gue.

"Maaf, aku tidak ada disana untukmu. Aku juga sedang mengalami hari yang buruk."

Gue pun membawa dia masuk ke kamar, lalu mengobati lukanya. Setelah tangisannya reda gue menyuruh Ani untuk menceritakan pelan-pelan apa saja yang terjadi tadi. Intinya sekarang dia tidak punya tempat tinggal lagi dan kami akhirnya sepakat untuk tinggal bersama. Gue pun menceritakan kepadanya apa yang terjadi pada Gede, dan selesai membahas itu kami tidur.

Keesokan harinya gue pergi ke rumah Ani untuk bertemu dengan suaminya. Gue terkejut karena sambutannya ramah sekali.

"Nah, akhirnya datang juga kamu ba****t. Kenapa semalam kamu tidak datang?"

"Aku ada keperluan penting yang harus diselesaikan."

"Baiklah, kita selesaikan secara laki sekarang."

"Oke, berikan tinju terbaikmu sekarang."

"Apa? Kamu meremehkanku ba****t?" Katanya sambil melepaskan pukulan ke wajah gue. Tinju itu bahkan tidak membuat efek yang berarti untuk gue, hanya luka sobek di pinggir bibir gue.

"Cuma segitu? Seperti pukulan cewek saja."

"Apa? Memang ba****t kamu!" Kata suami Ani sambil memukul gue lagi. Tetap saja gue tidak bergerak. Dia memukul gue berkali-kali tapi tetap saja tidak menimbulkan efek yang berarti untuk gue. Gue dengar nafasnya sudah tersenggal-senggal.

"Cuma segini saja? Sekarang giliranku." Gue memukulnya secara membabi buta, dia terlihat tidak berdaya dengan pukulan gue. Dia bahkan sampai jatuh ke tanah.

"Lain kali, jangan pernah sakiti Ani lagi. Dia tidak bahagia karena sikapmu padanya. Tidak kah kamu menyadari itu?" Kata gue sambil berjalan keluar ke pintu. Saat gue membuka pintu ada vas yang dilempar dan pecah persis di sebelah gue. Dengan cepat-cepat gue meninggalkan rumah tersebut sebelum dia melempari gue dengan barang lainnya.

"Kalian tidak akan pernah kulepaskan!" Teriak suami Ani. Gue tidak menghiraukannya.

Gue tidak masuk kerja hari itu, berhubung gue harus mengurus Ani dan juga pemakaman Gede. Ani juga ikut membantu. Gue jual rumah yang dulu sempat kami tinggali itu, uangnya kami gunakan untuk biaya pindahan. Ya, gue dan Ani sepakat untuk pindah ke luar negeri dimana ia jauh dari suaminya. Kami berharap akan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Gue juga perlu tempat baru untuk menenangkan pikiran gue yang masih kacau. Tempat yang kami tuju adalah Copenhagen, tempat yang dari dulu selalu ingin dikunjungi Ani.

Andaikata saja gue tidak salah sangka akan kejadian itu.

Mungkin kehidupan gue akan berbeda. Entah lebih buruk atau lebih baik.

Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

...

-The End-

...

Akhirnya setelah sekian lama, Edge of Desire selesai juga! #wohoo entahlah gue harus ngerasa senang atau bahagia tapi terima kasih buat kalian semua yang sudah mendukung dengan membacanya. You are amazing:) buat yang belum baca cerita sebelumnya gue kasih link-nya di bawah. Terima kasih.

Intro

Part 1

Part 2

Part 3

Part 4

Part 5

Part 6

Part 7

Part 8

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images