LEONARDO WIRANATA

Semua orang menjadi hakim

merasa diri paling benar,

bersua tanpa dipikir

merasa pemikirannya yang paling benar,

mencela yang salah.

apakah mencela yang salah adalah sesuatu yang benar?

atau kah hal itu benar-benar salah?

dimanakah benar dan salah di dunia ini,

apakah dunia hanya hitam dan putih,

tak dihiraukan warna lain.

dunia tak butuh hakim

dunia tak butuh pengeritik

dunia butuh belas kasih 

Photo by Maxence Pira on Unsplash

Semua orang pernah berbuat salah. entah hanya dalam hal kecil di hidup ataupun dalam pekerjaan. Bagaimana pun kita menghindarinya, pasti akan tetap ada satu momen dimana kita akan berbuat salah. Bahkan setelah kita berusaha untuk tidak mengulanginya, akan tetap terulang kembali.

Setelah berbuat kesalahan, kita biasanya akan terselimuti rasa bersalah. Kita mulai menyadari tanda-tanda yang ada yang mungkin sebelumnya kita lewatkan. Otak kita biasanya mulai mencari-cari sisi mana yang seharusnya kita lakukan dan selalu mengulangi kata-kata “coba saja..” 

Lalu kita mulai mencoba agar tidak dapat berbuat salah lagi. 

But it happen again. It always happen again

After some amount of mistakes, we might gonna felt that “i am bad, i am not capable for this job”

Apakah menghilangkan perasaan ini hal yang mudah? Tentu saja tidak. It might takes days or even months. 

Saat ini gampang sekali orang menyalahkan orang lain, sehingga orang yang berbuat salah pun seringkali berusaha menutupinya. Terkadang masalah-masalah tersebut dibiarkan berlalu tanpa diketahui akar dari permasalahannya.

Bagaimana perasaan tersebut hilang?

Admit that we are human that capable of doing wrong things. providing safe environment where discuss to look where we are missing in that mistakes and searching for the solution together rather than blaming the person. Support from the co-workers.  

and thankfully that’s what I got

Selama ini saya mengira, bahwa buku adalah patokan dari segala hal. Dalam bekerja pun semuanya membutuhkan SOP dan panduan yang rinci sehingga dapat melayani dengan baik dan optimal. 

Dari dulu saya sering kali mendengar istilah "Medicine is an art" namun tidak paham artinya. Bukan kah semuanya sudah tertulis dalam buku? bukannya setiap penyakit sudah memiliki SOP atau panduan dalam tatalaksana. Asal saya belajar dengan baik dan tekun, maka pasti saya akan mengetahui seluruh penyakit dan dapat mengobati pasien dengan baik. Semuanya objektif dan pasti terukur. Apabila ada hasil laboratorium seperti ini maka pasti akan mengarah pada penyakit A, dsb. 

Namun saya salah.

Saat mulai berpraktik, ternyata banyak sekali hal yang belum saya ketahui. Setiap pasien berbeda. Walaupun keluhan sama, namun memiliki derajat intensitas yang berbeda, belum lagi setiap pasien datang dalam kondisi sosial dan ekonomi yang berbeda. Sering kali kita dihadapkan dalam situasi dilema dan tak jarang hal tersebut membuat kita lelah.

Lelah karena merasa bahwa tidak tahu apa-apa

Lelah karena merasa tidak bisa maksimal dalam menangani pasien

Lelah karena tidak bisa berhenti (jadwal dan sebagainya)

Memang, dalam semua pekerjaan yang terpenting adalah pengetahuan. Namun pengetahuan saja tidak cukup dalam menangani pasien. Seringkali kita membutuhkan bimbingan dari mentor, belajar dari pengalaman dalam mengahadapi berbagai pasien, serta teman-teman yang mendukung kita saat mengalami hal tersebut.

Tubuh manusia walau hanya diciptakan Tuhan dari tanah liat merupakan ciptaan yang sangat kompleks dan masih banyak sekali misteri yang belum terungkap. Sehingga kita harus terbiasa dalam menghadapi dan menyikapi akan hal tersebut. Saya belajar untuk tidak pernah merasa diri paling pintar dan mengatahui segala hal. Saya juga belajar bagaimana melayani setiap pasien sesuai dengan kebutuhan pasien bukan sekedar ideal berdasarkan buku atau panduan saja. Saya belajar bagaimana melihat pasien sebagai sebuah pribadi yang butuh ditolong dan mungkin walaupun sikapnya tidak menyenangkan, hal tersebut karena ia merasakan sakit atau ketidaknyamanan sehingga ia tidak bisa bersikap seperti biasa.

Semoga kita semua diberikan empati dalam melihat dan melayani sesama kita yang membuthkan. Cheers!

Photo by Daniil Korbut on Unsplash

Tulisan kali ini sangat berhubungan dekat dengan dunia medis. Namun akan coba saya gunakan bahasa yang lebih umum dan dapat dipahami oleh kita semua. Prognosis sering kali kita gunakan dalam kehidupan praktek. Terutama saat melihat pasien yang berada dalam kondisi penyakit kronis. “Bagaimana prognosisnya?” pasti menjadi pertanyaan yang dapat dijawab berdasarkan pengalaman serta pengetahuan kita atas penyakit tersebut. Atas dasar hal tersebut, biasanya kita mengklasifikasikan hal tersebut menjadi 3:

Photo by Mr TT on Unsplash

1. Penampilan luar memang penting, namun bukan lah segalanya. Kita perlu juga untuk memperhatikan sikap dan sifat yang kita miliki. Sikap dan sifat yang baik jauh lebih berharga daripada paras yang menarik. Namun kita tetap perlu untuk berpenampilan yang baik untuk menghargai diri kita sendiri
2. Persepsi orang terhadap penampilan kita bukanlah urusan kita. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri? Apakah kita sudah cukup puas terhadap diri kita sendiri? Tuhan menciptakan manusia menurut gambarNya dan tidak ada ciptaanNya yang salah. Tuhan juga memandang setiap kita sebagai sosok yang indah, apakah kita sebagai ciptaanNya layak untuk seenaknya bersikap tidak adil ataupun merendahkan seseorang berdasarkan penilaian dari penampilan luar saja?
3. Kita harus berhenti membuat persepsi dari seseorang hanya berdasarkan penampilan dan berusaha untuk berperilaku adil kepada setiap orang tanpa memandang wajah mereka. Pengenalan akan seseorang tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu yang singkat saja. Dibutuhkan waktu dan juga energi yang lebih untuk dapat mengenal seseorang, but it is worth it. 

1. https://www.vice.com/id/article/kzg8na/begini-rasanya-pas-remaja-dianggap-jelek-setelah-dewasa-berubah-jadi-cakep
2. https://www.mdpi.com/2076-328X/9/4/34
3. https://youtu.be/Wgt8QUHQjw8
4. https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0148284