Edge of Desire : Those Magical Moments

04.01

Oke, jadi situasi keuangan gue seperti ini sekarang. Gue cuma punya 150 ribu sampai pembagian gaji gue 2 minggu lagi. Jadi dengan perhitungan sederhana, 1 hari gue tidak boleh mengeluarkan uang lebih dari 10 ribu. Gue memutar otak gue, berusaha mencari cara paling hemat dalam segala hal.

Yang pertama muncul di otak gue adalah membawa bekal saat kerja. Minimal gue bawa nasi doang, lauknya bisa gue beli. Untuk makan pagi masih bisa menumpang di rumah. Cuma 2 minggu, gue pasti bisa bertahan. Misalnya situasi memburuk sekalipun, gue hanya harus pinjam uang ke Gede. Tapi gue usahakan untuk tidak melakukan opsi ke-2, kenapa? Karena meminjam uang di Gede itu ribet, birokrasi-nya berbelit-belit.

Untuk kebutuhan-kebutuhan tambahan seperti sabun, tissue, dan lain-lain akan gue negosiasikan dengan Gede. Ini pun akan menjadi pembicaraan yang panjang. Memang kita harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu.

...

Gue akhirnya menjalani siasat tersebut. Gue mulai membawa makanan dari rumah, sialnya hari ini Gede hanya menyiapkan ikan siap saji saja. Mau tidak mau, gue harus bawa nasi saja. Permulaan yang jelek, tapi tidak apa-apa. Gue jadi bisa memperhitungkan harga makanan yang gue beli dan melakukan perhitungan lagi.

Gue sebenernya malu untuk bawa bekal karena takut diejek seperti anak kecil lah, cemen lah, cupu, dan masih banyak lagi ejekan yang muncul di kepala gue. Sialnya lagi, saat istirahat kantor gue diajak makan bareng dengan temen-temen sekantor. Karena sadar akan kondisi keuangan gue, di otak gue timbul alasan yang bagus.

"Enggak ah, kerjaan gue masih banyak."

"Kan nanti bisa lo kerjain selesai makan."

"Ya memang, tapi gue ada janji sama pacar gue. Jadi gue ingin pulang lebih cepat hari ini."

"Ooh.. ya udah kalau begitu."

Setelah melihat mereka pergi meninggalkan ruangan, cepat-cepat gue pergi ke bawah dan membawa kotak nasi. Gue pergi ke warung terdekat langganan gue. Gue memakai pintu darurat karena berjaga-jaga ada yang melihat.

Semuanya aman sejauh ini. Tidak ada yang melihat gue. Sampailah gue di warung itu. Warung itu bernama "Berkat" karena pemiliknya juga pak "Berkat". Dari dulu gue senang pergi kesini karena harganya yang murah. Dan juga biasanya kalau teman gue ngumpul tidak pernah makan disitu. Jadi kesempatan untuk dilihat teman-teman gue sangatlah kecil.

"Hei, pesen apa bos? Udah lama tidak kelihatan."

Catatan : pak Berkat selalu memanggil semua orang dengan panggilan bos. Entah pelanggannya supir atau memang bos beneran.

"Pesen lauk aja, sayur ama ayam goreng aja deh. Oh ya, sama sambel juga."

"Tumben makannya sedikit, bos. Biasanya kan banyak."

"Iya, lagi hemat aja. Berapa semuanya?"

"6 juta aja, bos."

Catatan : nominal uang pak Berkat berbeda dengan peraturan keuangan Republik Indonesia. Di Warung Berkat, 6 juta sama nilainya dengan 6 ribu rupiah. Jadi kalau dia bilang kalau harganya 10 juta berarti sama saja pak Berkat mengatakan kalau harganya 10 ribu.

"Ini 10 juta, pak."

"Oke, kembali 4 juta. Terima kasih ya mas."

Lalu gue mencari tempat duduk di pojokan. Gue akhirnya bisa santai menikmati makanan gue. Sambal pak Berkat menurut gue merupakan sambal paling enak. Walaupun warungnya kecil dan harganya relatif murah, tapi rasa masakan pak Berkat tidak main-main.

Dengan lahap gue menyantap semua makanan tadi, tiba-tiba temen-temen yang seharusnya tidak ada disini, DATANG. My God, tell me this is a dream. Mereka duduk di meja seberang belakang gue. Jadi mereka tidak melihat keberadaan gue. Gue salah perhitungan, gue langsung menutup kotak makan gue dan dengan gerakan langkah seperti kepiting dan keluar ke pintu.

Hebatnya gue tidak ketahuan. Yes! Mungkin gue juga berbakat jadi agen rahasia. Gue makan di luar kantor dan setelah menyantapnya dengan habis, gue masuk lagi ke kantor tepat sebelum temen gue masuk. Jadi alibi gue tidak ketahuan.

Untuk makan malam gue beli lagi di warung pak Berkat. Tinggal 13 hari lagi, gue harus bertahan sampai gajian.

...

Sudah seminggu gue menjalani penghematan ini dan sukses besar. Temen-temen gue tidak ada yang tahu kalau gue bawa bekal atau bagaimana. But now, the problem comes.

Ingat Bernard? Anjing pug kesayangan kami? Tiba-tiba gue melihat dia berbaring lemas di lantai. Gue ajak main, tapi dia hanya diam saja. Dia juga tidak menggigit-gigit lagi seperti biasanya. Aneh, kalau soal penyakit menular sudah kami cegah karena kami rajin menyuntik vaksin. Tidak ada suntikan yang terlewatkan, vaksin rabies, dll.

Gue bingung, Gede sedang pergi dan mau tidak mau gue yang harus membawa Bernard ke dokter yang akan berakibat parah ke dompet gue yang sedang kritis. Tapi karena saking sayangnya sama Bernard, gue bawa dia ke dokter. Di dekat rumah gue ada klinik hewan baru. Biasanya kalau menyuntikan vaksin lokasinya jauh sekali, itu karena di dekat rumah gue tidak ada klinik hewan. Klinik itu berdiri di sebuah ruko dan berkali-kali gue lewat klinik itu belum banyak pengunjung yang datang. Mumpung disana sepi, tidak ada salahnya juga gue mencoba mengobati Bernard disana.

Gue segera memasukan Bernard ke kandangnya dan membawanya menggunakan mobil. Di mobil gue sempatkan diri untuk mengelus-elus badannya. Gue tidak tega kalau anjing gue kenapa-kenapa.

Sesampainya disana, gue sangat kaget karena dokter hewan itu adalah Ani. Sesosok ajaib yang entah kenapa Bernard sukai.

"Lho? Kamu kan?" Kata dia kaget.

"Iya. Kok masih ingat sih?"

"Iya dong. Anjing kamu namanya Beni ya? Dia kenapa?"

"Namanya Bernard. Dia tiba-tiba lemas gitu. Diajak main tidak mau, cuma diam saja kerjaannya."

"Oh begitu. Aku periksa dulu ya," kata dia sambil memasangkan stetoskop di telinganya. Lalu mengecek suhu badan Bernard.

"Dia terkena cacingan rupanya."

"Hah? Kok bisa?"

"Cacingan bisa datang dari makanan yang kotor. Biasanya cacingan ditandai dengan feses yang mengeluarkan cacing. Kamu tidak perhatikan feses-nya?"

"Enggak pernah sih, soalnya biasanya fesesnya langsung aku buang."

"Lain kali perhatikan gejala-gejalanya ya. Dan juga periksa ke dokter secara berkala. Sekarang aku akan menyiapkan obatnya."

"Untuk bayarannya berapa?"

"Tidak usah hehehe. Cepat sembuh ya Bernard," kata dia sambil mengelus Bernard yang masih lemas.

Di dalam hati gue berpikir "Wow, gue kampret hoki! Tidak bayar lagi! Pas banget. Tuhan memang tahu keadaan setiap umatnya hahahahaha." Tapi diluar gue masih pasang muka cool dan belas kasihan kepada Bernard.

"Terima kasih ya. 1 minggu lagi datang untuk periksa lagi. Sampai jumpa lagi, Bernard."

"Baiklah. Aku yang seharusnya berterima kasih," balas gue.

Gue pulang dengan senyuman lebar di muka gue. Di dalam semua kesesakan ini masih ada harapan. Oke gue makan lalu tidur dengan tenang.

Selesai mengobati Bernard, pas saat gue masuk pintu gerbang kompleks tiba-tiba mobil gue mati. Gue liat fuel gage-nya dan kampret, bensin gue abis. Gue lupa memperhitungkan bensin mobil.

Akhirnya dengan segenap kekuatan gue mendorong mobil ke rumah gue. Seperti yang kalian tahu, rumah gue terletak di blok D yang terletak lumayan jauh dari pintu gerbang kompleks. Susahnya lagi di kompleks rumah gue polisi tidurnya tinggi semua, gue harus ada energi ekstra untuk mendorongnya. Mobil gue sempat tersendat di satu polisi tidur karena gue kelelahan. Gue duduk sebentar di trotoar untuk mengistirahatkan diri sebentar.

Ponsel gue berdering, menandakan ada seseorang yang menelefon gue. Ternyata itu Ayu, gue angkat telfonnya.

"Hai sayang. Lagi apa?" Sapa Ayu.

"Ini lagi dorong mobil, bensinnya habis. Nanti aja telfonnya kalau aku udah di rumah ya."

"Oke. Take care."

Telefon ditutup. Ah, gue harus cepat-cepat. Gue telfon Gede untuk meminta bantuan dari dia. Gue coba telfon, tidak diangkat. Gue coba telfon untuk yang kedua kalinya, tidak diangkat juga. Gue telfon untuk ketiga kalinya, sama saja hasilnya.

Kampret emang, gue harus berusaha sendiri.

...

"Hai, lama menunggu? Aku baru sampai rumah."

"Tidak kok. Hei, aku punya kabar bagus."

"Apa itu?"

"Siap-siap ya. Oh, aku tegang sekali saking senangnya. Aku-diikutkan-ajang-desain-nasional."

"Congratulation, then. Aku tahu kamu pasti akan menjadi desainer besar suatu hari nanti."

"Ya. I'm so excited now. Dan mungkin beberapa hari ke depan aku akan sedikit sibuk, jadi mungkin tidak akan ada acara telefon subuh ini."

Gue terdiam saja mendengar perkataan Ayu itu.

"Jangan sedih, sayang. Kan kita masih bisa chatting."

Gue tutup telfonnya, mengambil kunci motor, dan langsung menghampiri dia di rumahnya. Selama di perjalanan ke rumahnya pikiran gue cuma satu, menghabiskan momen selama mungkin dengan dia.

Di tengah jalan, gue menyempatkan diri untuk berhenti dan membeli camilan kesukaan kami, martabak. Sesampainya di rumah Ayu, dia sangat kaget dengan kedatangan gue.

"Ka.. kamu.. kok bisa di.." pelukan gue membuat dia diam. Kulihat senyuman kecil di wajahnya.

"It's allright. Ini tidak akan lama kok," lanjut dia.

Mungkin gue terlihat sedikit dramatis disini, tapi emang gue paling tidak bisa kalau cuma chatting dengan Ayu. Gue lebih suka mendengarkan suaranya di telefon sampai pagi. Jadi malam ini gue akan berbincang sampai pagi dengannya.

And maybe do our private things.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images