Edge of Desire : Chorus

21.51

Keesokan harinya gue menjalani rutinitas gue seperti biasanya. Menghitung uang, mencatat, dan banyak lagi hal-hal yang membuat otak gue menjadi panas. Tidak seperti biasanya, walaupun otak gue panas tapi gue lebih bersemangat saat bekerja.

Kenapa? Saat Gede berkata bahwa dia setuju kalau gue dan Ayu menikah, gue jadi kepikiran untuk melamarnya. Memang umur gue masih terbilang cukup muda untuk seorang lelaki yang akan menikah, tapi gue rasa gue udah punya modal yang cukup, yaitu "cinta kami berdua."

Gue berencana memberikan dia kalung emas. Hari ini gue akan melihat-lihat di toko emas untuk melihat apakah tabungan gue sudah cukup atau belum. Semoga saja gue tidak pulang dengan rasa kecewa. Gue tidak sabar sekali untuk menikah dengannya, ini mengingatkan gue saat pertama kali mengenal dia. Jantung ini mengeluarkan frekuensi getaran yang sama. Yup, it is like our first time meet.

Kami berjumpa saat malam perpisahan SMA. Sekolah kami menyewa ballroon di satu hotel. Gue dan Ayu bersekolah di sekolah yang sama, tapi kami tidak pernah saling mengenal satu sama lain.

Entah bagaimana Tuhan melihat kami, tapi malam itu Ia merencanakan pertemuan kami. Bisa dibilang Ia mak comblang gue. Ia mengatur seluruh alam semesta supaya kami bisa setidaknya bertegur sapa. Malam itu Ia membuat jalanan dari rumah gue ke sekolah menjadi macet. Lalu Ia membuat ban mobil Jazz gue pecah. Dua-duanya. Gue sempat mengumpat tanpa mengetahui maksud dibalik rancangan-Nya. Akhirnya gue datang ke pesta itu telat. Dan gerbang menuju ballroom sudah ditutup, satpam depan tidak memperbolehkan gue untuk masuk. Gue merasa bahwa hari ini adalah hari tersial dalam hidup gue. Padahal gue berharap mendapatkan gebetan saat pesta dansa nanti. Ya sudah gue cuma bisa pasrah doang.

Lalu tiba-tiba ada seorang perempuan datang dengan terengah-engah, menandakan bahwa ia sudah berlari dengan jauh. Satpam depan juga tidak memperbolehkannya untuk masuk. Ia putus asa mendengar itu, lalu mulai berjalan perlahan sambil membenarkan nafasnya. Dia melihat bahwa gue sedang mengamatinya.

"Kamu.. (terengah) juga telat?"

"Yap, ban mobilku bocor. Memang aku lagi sial banget. Karena kita punya banyak waktu, mending kita duduk di rooftop cafe. Aku belikan kamu minum nanti."

"Serius? Baik banget kamu.. (terengah) boleh kenalan?"

"Namaku Adi. Kamu?" Kata gue sambil memberinya tangan.

"Namaku Ayu." Katanya sambil menjabat tangan gue.

"Tunggu," kata Ayu. "Kamu tidak sedang mencoba memberiku narkoba, kan?"

"Enggak lah, aku cuma kasian liat kamu kecapean. Lagipula aku juga bosen sendirian, makanya aku ajak kamu minum."

"Belikan saja aku air mineral. Yang masih bersegel. Aku masih tidak percaya dengan kamu. Aku tidak ingin fly disini."

"Ya sudah kalau itu maumu."

Kami pun mulai berjalan. Rasa curiganya berlebihan sekali, sampai-sampai dia menjaga jarak dari gue. Dia berjalan jauh di depan, gue mengikuti dari belakang dengan santai. Dia sesekali menoleh ke belakang lalu dengan buru-buru menoleh ke depan lagi. Gerakan itu dilakukannya berkali-kali. Gue cuma bisa tertawa melihat tingkah lakunya itu.

Lalu kami naik lift. Dia pun masih menjaga jarak dengan gue. Dia berdiri di pojok elevator sambil melihat ke gue dengan tatapan was-was, gue cuek aja.

Akhirnya kami sampai di atas, sesuai permintaan dari Ayu, kami hanya memesan air mineral saja. Walau di hotel air mineral harganya sama dengan es teh. It's okay.

"Jadi kamu kelas apa?" Kata gue membuka pembicaraan.

"Aku kelas IPS 4. Kamu?"

"Aku Bahasa. Pantas aku tidak pernah melihat kamu."

"Ya, gedung kita kan berbeda."

Perlu dijelaskan bahwa gedung antara kelas Bahasa dengan IPS yang berbeda. Kelas Bahasa terletak di pojok bangunan lama. Dan kelas IPS terletak di lantai 3 gedung baru. Sekolah kami unik, gedung lama dan gedung baru berada di lokasi yang berbeda. Gedung lama terletak di Jl. Soedirman dan gedung barunya terletak di Jl. Teuku Umar. Jaraknya cukup jauh, jadi kalian mengerti kan kenapa kami tidak pernah bertemu?

"Kamu bisa membaca rasi bintang?"

"Tidak, kenapa?"

"Hari ini hari yang cukup spesial kau tahu."

"Kenapa?"

"Pernah mendengar tentang Altair dan Vega?"

"Sepertinya cukup familiar. Memangnya apa hubungannya dengan rasi bintang?"

"Lihat disana, setahun sekali tepatnya hari ini rasi Lyra dan rasi Aquila bertemu. Di rasi Lyra terdapat bintang Vega dan di rasi Aquila terdapat bintang Altair. Mereka mempunyai cerita cinta yang cukup menyedihkan."

"Gimana ceritanya?"

"Cerita ini berasal dari Jepang. Jadi ada seorang putri bernama Orihime yang sedang menenun pakain yang indah di tepi sungai yang dilambangkan sebagai Milky Way. Karena terlalu serius menenun dia jadi kelupaan soal mencari jodoh, dia menjadi sedih dan putus asa karena itu."

"Lalu?"

"Ayahnya yang seorang dewa mendengarkan permohonannya dan mengabulkan doanya dengan mempertemukan Orihime dengan Hikoboshi, seorang peternak sapi yang tinggal di seberang sungai. Mereka menikah. Sampai-sampai Orihime berhenti menenun dan Hikoboshi mengijinkan sapinya berkeliling di surga. Melihat itu ayahnya marah dan memisahkan mereka. Karena sayang kepada anaknya, dia memperbolehkan mereka bertemu sekali setahun saat tanggal 7 bulan 7. Saat pertemuan pertama aliran sungai tersebut sangat deras sehingga susah dilewati. Orihime sangat sedih, tapi ada sekawanan burung magpie yang datang dan membuat jembatan agar mereka bisa bertemu. Tapi burung-burung tersebut tidak akan datang kalau musim hujan. Maka dari itu setiap tahun pada tanggal 7 Juli orang-orang Jepang mendoakan agar cuaca baik agar mereka bisa bertemu.

"Kamu anak bahasa, tapi terdengar seperti campuran dari IPA dan IPS ya."

Dia pendengar yang baik rupanya. Dia sesekali menganggukan kepalanya menandakan kalau dia mengerti cerita gue. Gue sempet berpikir, "Wow, gue ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengannya."

Dan ternyata Tuhan mendengarkan perkataan gue, dia mengabulkannya. Sampai malam kami bercerita tentang diri kami masing-masing. Entah sadar atau tidak, malam itu kami menjadi sangat dekat.

Kami mendengar musik dansa dari kejauhan. Musik waltz yang dipasang sekolah gue menandakan waktu untuk berdansa sudah dimulai. Mendengar itu gue punya ide bagus.

"Hei, kamu dengar musik itu?"

"Ya, aku mendengarnya. Kenapa?"

"Ayo berdansa." Gue mengulurkan tangan.

"Hah? Dimana? Kita kan tidak boleh masuk ke ballroom."

"Tidak, kita lakukan disini. Sekarang."

"Kamu serius?"

"Ya, aku sangat serius."

"Kamu orang gila."

Dia meraih tangan gue.

Malam itu kami seperti Altair dan Vegas dalam cerita tadi. Saling bertemu satu sama lain.

Dan sepertinya dia memasukan narkoba di minuman gue.

Karena malam itu, gue fly.

...

Kenangan tersebut muncul begitu saja, menumpuk pandangan sekitar menjadi buram dan berputar layaknya menonton film. Tanpa suara, hanya gambar yang berjalan. Gue sempat terdiam sebentar sampai ada temen gue yang menyadarkan dari belakang.

"Ngelamunin apa, lo?"

"Bukan apa-apa."

"Aneh banget sih. Nanti kerasukan baru tahu rasa."

"Iya gapapa asal hantunya bukan cewek. Nanti gue ngondek."

"Dasar," kata temen gue sambil perlahan berjalan menjauhi gue. Dia teman satu profesi gue, namanya Gus Rudi. Kami masuk ke bank ini bersamaan dan salah satu teman yang paling akrab dengan gue di kantor ini.

Gue melihat ke jam yang terletak di tembok sebelah kanan gue. Jam menunjukan pukul 17.00, waktunya untuk pulang. Gue segera membereskan peralatan kerja gue, memasukan ke tas, dan segera keluar dari bank.

Gue memacu motor gue ke toko perhiasan yang terletak tidak jauh dari bank tempat gue bekerja. Semakin dekat dengan toko tersebut, semakin berdebar jantung gue. Gue tidak sabar sekali. Seperti biasa jalanan saat pulang kerja sangatlah macet. Walaupun tidak cukup jauh, tapi memakan 20 menit untuk bisa sampai  kesana. Saking tidak sabarnya, gue sampai menyelinap di sela-sela antar mobil sampai-sampai hampir tertabrak mobil. Mobil itu segera membunyikan klakson panjang dan gue meminta maaf atas perbuatan gue.

Dan setelah semua perjuangan itu akhirnya gue sampai. Gue memarkir motor gue dan memasuki toko perhiasan itu. Gue menarik nafas panjang tepat sebelum gue mendorong pintu kaca toko tersebut.

Di dalam terdapat berbagai macam perhiasan. Dan gue juga cukup kecewa karena harganya mahal semua. Membutuhkan semua tabungan gue untuk membeli sebuah kalung.

Saat mengamati berbagai jenis kalung yang di display, mata gue berhenti pada satu kalung yang menurut gue bagus juga. Kalung yang satu berisi setengah hati dan yang satunya berisi setengah hati juga. Keren juga. Tapi gue tanya harganya dan WOW, tabungan gue ga cukup.

Gue cari lagi kalung mana yang cukup menarik dan cukup murah. Gue tanya beberapa kali dan hasilnya mengecewakan. Gue akhirnya tanya harga cincin. Beberapa kali gue tanya, ujung-ujungnya juga kecewa. Akhirnya ada juga yang pas dengan tabungan gue, cincin emas biasa yang gue nego untuk menuliskan nama didalamnya. Untung saja penjual itu bersedia. Selama beberapa bulan ke depan gue harus hidup hemat karena ini.

It's allright.

...

Cincin tersebut diwadahi tempat hitam yang sudah diikat pita pink. Sederhana sih, semoga saja Ayu suka.

Pulang ke rumah, gue masih belum bisa santai. Sekarang gue harus memikirkan momen untuk memberikan cincin tersebut. Gue sih berencana untuk mengulangi momen waktu pertama kali kami bertemu. Gue berencana mengajaknya ke hotel yang sama. Untungnya hotel itu masih berdiri sampai sekarang. Tinggal menunggu tanggal yang tepat saja. Gue hanya kepikiran satu tanggal, 7 Juni. Tepat 2 bulan lagi. Jadi gue masih punya banyak waktu untuk menyiapkannya.

Saat Gede pulang, gue menceritakan semuanya. Bahkan gue menunjukan cincin tunangan gue kepada dia. Seperti biasa Gede hanya menjawabnya dengan datar saja, tidak ada gunanya juga gue cerita ama dia.

Absolutely, it's the best day ever.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images