Edge of Desire : A Sorrow Haze

16.54

Hai:) udah lama gue ga nulis karena sibuk UAS. Berhubung sekarang sudah selesai, gue kembali lagi menulis lanjutan dari cerpen berseri gue "Edge of Desire". Semoga kalian menikmati keseluruhan ceritanya:)

...

Ayu mempersilakan gue untuk duduk di teras rumahnya. Kami duduk menghadap ke arah jalan. Terlihat orang-orang berlalu silih berganti, entah mereka memperhatikan kami atau tidak kesunyian yang ada di antara kami.

Pikiran gue masih tidak bisa lurus. Masih terbayang sosok misterius itu. Siapa dia? Pikirku berkali-kali. Sampai-sampai Ayu membohongi gue. Gue tidak menyangka hal ini akan terjadi dalam hubungan kami. gue melihat cuplikan film berulang-ulang yang muncul terus di mata gue. Membuat pandangan ke depan menjadi kabur.

Sepertinya inilah akhir dari kisah kami, yang sayangnya adalah sebuah tragedi.

Setelah lebih dari 10 menit tanpa mengucapkan apapun gue pergi dari rumahnya. Dia mengantarku keluar pagar dan dari raut wajahnya terlihat seperti
muka orang yang sudah melakukan sebuah kesalahan besar yang tidak bisa ditanggungnya. Tapi gue pura-pura cuek melihatnya karena emosi gue masih tidak stabil. Gue menyalakan mesin kendaraan dan pulang ke rumah.

Gue pulang ke rumah dengan muka kecewa, gue duduk di sofa dengan pandangan kosong ke layar televisi yang mati tapi di mata gue televisi tersebut menyiarkan sesosok pria misterius itu lagi.

"Hei, ngapain elo melamun? Kesambet baru tahu rasa," sapa Gede yang baru saja datang, dia memakai jaket yang sama persis dengan jaket yang dipakai si cowok misterius yang gue lihat tadi. Gue masih ingat betul jaket yang tadi dikenakan si cowok misterius itu. Jaket itu berbahan kulit, berwarna hitam, dengan gambar logo Harley Davidson di belakangnya.

"Rasanya gue ga pernah liat elo pake jaket itu," tanya gue.

"Ya, gue baru aja beli. Keren ga?"

"Iya, keren." Jawab gue dengan datar. "Anyway, elo kemana aja tadi?"

"Cuma ngecek proyek aja."

"Cuma kesitu aja? Kok lama?"

"Tanya aja mandornya kalau ga percaya. Elo aneh banget sih. Geli tau." Setelah berkata begitu Gede masuk ke studionya untuk kerja, mungkin.

Kecurigaan gue semakin besar. Gue harus menyelidiki lebih lanjut tentang Gede. Firasat gue mengatakan kalau dia adalah si cowok misterius itu. Tapi gue harus menyelidikinya terlebih dahulu, kalau firasat gue benar, lihat saja apa yang akan terjadi. Gue tidak akan pernah memaafkan Gede. Gue tidak akan peduli nasib dari Urban Project atau bahkan nasib Gede sendiri.

I don't give a fuck.

Gue jadi tidak nafsu ngapa-ngapain, makan tidak nafsu, main gitar juga tidak nafsu. Yang gue pingin lakuin sekarang cuma tiduran di ranjang gue, yang sekarang terasa tidak senyaman biasanya. Gue mengambil cincin yang akan gue kasih ke Ayu di laci meja dekat ranjang. Gue buka kotaknya dan ambil cincinnya. Gue pandangi cincin itu sambil memutar-mutarnya, masih terlihat nama Ayu yang terukir disitu. Ini tidak berguna lagi sekarang, semuanya sudah hancur. Sudah tidak ada yang bisa dilanjutkan lagi dari hubungan ini.

Gue merasa hari ini harapan gue hancur, hanya dalam sekejap. Semua pengorbanan gue, waktu yang udah gue kasih buat dia selama 2 tahun ini seperti tidak berarti apa-apa. Gue seperti orang bodoh yang menangkap angin menggunakan jaring, yang berharap akan mendapatkan angin tersebut. Pada akhirnya yang dia dapat hanyalah kekecewaan.

Didalam hati gue sekarang bercampur rasa kekecewaan, kemarahan, kesedihan, frustasi. Dan entahlah, mungkin karena gue terlalu lelah berpikir akhirnya gue ketiduran.

Keesokan harinya gue masih bangun dengan pikiran yang sama dan tentunya suasana hati yang sama pula. Gue ke meja makan dan disitu sudah ada Gede. Gue jadi tidak nafsu makan.

"Elo ga makan?" Tanya Gede.

"Ga, masih kenyang." Setelah berkata begitu perut gue keroncongan, memang perut gue tidak mau diajak berkompromi.

"Tuh suara apa?"

"Ya, nanti gue makan di luar aja. Lagi ga mood makan di rumah."

"Oke." Jawabnya. Untung Gede tidak bertanya macam-macam.

"Oh ya, nanti kita bikin lagu lagi ya buat dimasukin ke ..."

"Ga ah, gue sibuk."

"Sibuk apaan elo?"

"Kerjaan gue banyak."

"Besok kan sabtu, elo libur."

Kampret, gue emang tidak pernah pintar membuat alasan. "Ya, ada kerjaan tambahan gitu. Sibuk pokoknya."

"Elo kenapa sih jadi aneh gini?" Tanya Gede dengan muka bingung.

"Ga kenapa, udah ya gue mau siap-siap dulu," kata gue sambil masuk ke kamar gue. Gede emang kurang ajar, sudah ngambil pacar orang tapi dia tidak kelihatan bersalah. Mungkin perasaan bersalah itu sudah tertutupi dengan sikap dinginannya.

Gue mengeluarkan motor gue dari garasi lalu berangkat kerja. Gue tidak lagi membawa bekal dari rumah karena itu hanya akan menjadi hal yang tidak berguna untuk saat ini. Sepulang kerja gue berencana untuk mengembalikan cincin tunangan itu ke toko emas.

Gue tetap bekerja seperti biasa dan berinteraksi secara normal kepada teman-teman gue, tidak ada lagi galau-galau. Gue harus bisa melupakan Ayu. Walaupun bagi gue itu akan menjadi hal yang sangat sulit.
Gue bekerja terus sampai tidak terasa sudah saatnya pulang, gue langsung ke toko emas yang terletak tidak jauh dari kantor gue.

"Ini kalau dijual cuma seharga 6,5 juta"

"Hah? Yang bener aja mbak. Ga salah tuh?"

"Ya, mas. Ini kan juga kualitasnya tidak terlalu bagus. Apalagi sudah ada ukiran namanya."

"Ya sudah tidak apa-apa. Jual saja daripada saya teringat dia terus."

"Oh, ga jadi nikah ya mas? Pacarnya tolak lamarannya mas ya?"

"Ga, kasusnya lebih rumit dari itu."

"Mungkin dia nya ga suka sama mas. Ambil sisi positifnya aja, mas. Kan mas ga harus nungguin orang yang ga tepat." Ini pegawai toko tapi nyeramahin gue. Kampret, gue malu banget.

"Ya udah mana uangnya? Kok saya malah diceramahin."

"Iya, saya kasihan aja. Mas nya kan ga jelek-jelek juga. Pacarnya mas itu nanti bakal nyesel."

"Itu ga akan terjadi, mbak. Percayalah."

"Kalau mas nya ga keberatan, saya juga mau kok jadi pacarnya, mas. Siapa tau kita cocok."

"Hih! Udah cepet mana uang saya?" Gue tidak menyangka akan bertemu mbak absurd ini. Setelah mbak tersebut memberi uang, dia mengedipkan sebelah matanya. Gue takut dan langsung meninggalkan lokasi.

Gue cuma dapet 6,5 juta. Gue sudah rugi 1,5 juta. Tapi karena tidak bisa apa-apa, ya sudah disyukuri saja, yang penting sudah bisa makan enak. Tidak harus hemat-hemat sambil membawa bekal lagi.

Saat sudah dekat dengan rumah, gue melihat Gede mengeluarkan motornya dari rumah. Muncul-lah ide untuk mengikuti Gede malam itu, dan diiringi dengan rasa penasaran gue mengikuti Gede. Gue tetap berusaha menjaga jarak agar tidak ketahuan dengan Gede.

Motornya menuju ke sebuah cafe bernama antrivirm. Dulu gue dan Ayu sering minum kopi disana. Gue masih ingat minuman yang dia suka adalah vanila latte ditambah dengan sedikit whipped cream. Sehabis minum selalu tertinggal bekas cream tipis di bibirnya. Gue pernah memfotonya dan foto itu masih ada di hp, gue lupa untuk menghapusnya.

Gue melihat Gede masuk dan gue pun ikut masuk. Tapi saat gue hendak membuka pintu kacanya, langkah gue berhenti. Gue melihat Gede menuju sebuah meja. Di meja itu duduk seorang perempuan dan menariknya perempuan itu adalah Ayu. Gue langsung berbalik ke motor dan pulang ke rumah.

Di jalan pandangan gue kabur, tertutup oleh air mata yang tanpa gue sadari sudah membasahi mata gue. Beberapa kali gue hampir menabrak karena tidak melihat motor atau mobil yang melintas. Tapi entah bagaimana caranya akhirnya gue sampai di rumah, dengan selamat.

Gue tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. Fuck. Fuck. Fuck. Gue mengambil sebotol vodka (lebih banyak dari porsi biasanya) dan meminumnya sampai habis. Gue menghabiskannya secara perlahan di luar rumah sambil menunggu Gede pulang ke rumah, gue akan menghajarnya malam ini juga. Gue minum sambil melihat satu persatu foto Ayu, lalu menghapusnya.

Setelah 2 jam berlalu, Gede pulang.

"Elo ngapain minum di luar? Minum sebotol lagi, elo gila ya?"

"Gue ga gila. Elo yang gila!"

"Hah? Apa maksud elo? Gue ga ngerti."

"Halah. Ga usah sok bodo deh. Elo pacaran ama Ayu kan?"

"Hah? Gue ga ngerti yang elo ngomongin."

"Tadi gue ikutin elo. Gue tau kalau elo nge date ama Ayu. Tega banget elo ngambil pacar gue, bangsat!"

"Ga, gue beneran enggak."

"Harah, diem elo!"

*)Perlu dicatat disini gue mabuk dan seperti yang kalian tahu gue kalau lagi mabuk suka melakukan hal yang ekstrim. Dan kali ini hal ekstrim yang gue lakukan adalah ini :

Gue mengambil botol vodka yang sudah kosong itu. Gue angkat tinggi-tinggi dan mengayunkannya ke kepala Gede. Tapi sayangnya, botol tersebut pecah di kepala orang yang salah. Botol tersebut kena kepala Ani.

Sontak Ani langsung jatuh ke jalan. Gede lari dengan wajah yang panik untuk mencari perlindungan, dia pergi entah kemana menggunakan motornya. Tinggal sisa gue dan Ani yang kepalanya mengeluarkan darah karena ada beberapa kaca yang tertancap disitu. Gue mengambil telefon dan hendak menelefon ambulans, hanya saja pemgetahuan umum gue tidak terlalu bagus. Gue tidak tahu nomor telefon darurat ambulans, yang gue tahu cuma nomor telefon polisi yaitu 112. Karena takut Ani mati, gue nekat telefon polisi.

"Halo, polisi. Ya, disini ada situasi daru.." telefon gue diambil Ani, dengan lemas dia berkata, "kamu gila ya? Mau dipenjara?"

"Tapi nanti kamu mati."

"Sudah, cepat bawa aku ke klinikku saja. Disana peralatannya lengkap."

Gue masih terdiam karena shock.

"Buruan, tunggu apa lagi?" Katanya sambil menahan sakit. Gue tidak punya pilihan, akhirnya gue bawa Ani ke kliniknya.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images