Edge of Desire : Stuck

06.20

Gue melihat sekitar dan melihat ada mobil dengan pintu terbuka, itu pasti mobil Ani. Dengan hati-hati gue membuka pintu belakang, memasukan Ani ke dalam untuk memastikan kepalanya tidak terbentur lagi. Gue langsung tancap gas dan berangkat ke kliniknya.

Setelah sampai gue langsung menggendong Ani keluar dari mobil. Ani dengan lemas memberikan kunci kliniknya, tapi karena kedua tangan gue memegangi Ani gue tidak ada pilihan lain selain menggunakan mulut gue. Dengan susah payah gue memutar kunci tersebut dan setelah beberapa kali percobaan akhirnya terbuka! Gue langsung masuk dan membaringkannya di ranjang tempat hewan-hewan yang sakit biasanya berbaring.

"Ambilkan aku alkohol."

"Dimana?" Kata gue sambil membuka lacinya satu per satu.

"Bukan di meja. Tapi di lemari kecil itu," katanya sambil menunjuk ke lemari kecil di pojok ruangannya. Gue segera mengambil, menuangkan sedikit di kapas.

"Ini akan sedikit sakit, kau tahu."

"Iya aku tahu, cepat lakukan!" Katanya mantap.

Gue pun langsung mengolesi kapas berisi alkohol tersebut. Dia lantas berteriak kesakitan. "Sekarang, ambil pinset di meja tadi. Aku rasa ada beberapa pecahan botol yang mencancap di kepalaku."

Gue mencari di seluruh laci dan pinset itu berada di laci terakhir yang gue buka, entah kenapa dia menaruhnya di situ. Gue langsung menggerai rambutnya, dan terlihat disitu terdapat 3 pecahan kaca yang menancap. 1 diantaranya berukuran lumayan besar.

"Hei, bagaimana? Berapa yang menancap?"

"Ada 3. 1 diantaranya lumayan besar."

"Oke, cepat sterilkan pinset itu dan cabut kaca ini dari kepalaku."

"Hah? Apa itu steroilikan?"

"Haduh, pokoknya kapas itu kamu kasih alkohol lagi lalu pinsetnya dibersihkan pake itu. Buruan, buruan."

Gue mengikuti apa yang dia katakan, dan setelah ini mungkin akan menjadi pengalaman yang paling menengangkan di hidup gue.

Setelah menstreokan (atau apalah itu) pinsetnya, gue mendekatkan diri ke kepalanya dan melihat ke lukanya.

"Ambil dari yang kecil dulu ya, biar yang besar belakangan saja."

Gue menelan ludah, gue tidak pernah dapet  pendidikan apapun tentang mengobati orang atau mengeluarkan kaca dari kepala orang. Dulu gue cuma pernah disuruh membedah katak waktu SMA, karena gue tidak tertarik dengan semua itu gue tidak mendengarkan penjelasannya. Katak itu mati tragis karena pisau yang harusnya cuma membelah kulitnya malah membelah seluruh organnya, usus, lambung semuanya terbuka. Gue berharap tidak akan salah lagi seperti itu.

"Cepet, darah gue keluar terus nih."

"Iya, iya sabar. Gue takut."

"Haduh ini kan cuma mencabut kaca doang. Apa susahnya?"

Benar, apa susahnya sih? Gue menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan nyali sebesar-besarnya. Gue cabut langsung kaca pertamanya.

"Aduh! Pelan-pelan dong! Kasar banget sih."

Padahal gue ngerasa nyabutnya sudah cukup pelan.

"Oh, maaf. Siap-siap ya, gue mau mencabut yang kedua."

Gue memastikan mencabutnya dengan pelan-pelan. Lebih pelan dari yang sebelumnya. Gue melihat wajahnya sesaat sebelum menarik kaca dari kepalanya. Dia memejamkan mata dan terlihat ketakutan sebenarnya, dia meremas celana panjang yang digunakannya erat-erat.

"Aduuh! Udah aku bilang pelan-pelan, masih saja kasar!"

"Ini sudah sepelan mungkin, Ni. Siap-siap aja, ini yang terakhir. Dan yang paling sakit pastinya."

"Ya, pelan-pelan makanya."

"Iya, iya. Aku usahain."

Gue mencabutnya dan ada banyak darah yang keluar situ.

"Cepat ambilkan kapas dan alkoholnya."

Gue cepat-cepat mengambilkannya lalu dia mengompres kapas berisi alkohol itu di luka-luka tadi.

"Sekarang, ambil benang dan jarum di laci pertama mejaku. Kamu bisa menjahit kan?"

"Tidak, aku tidak pernah."

"Ya inti dari menjahit cuma masuk dan keluar saja. Kamu pasti bisa. Cepat jahit kepalaku."

Tuhan, tolong hambaMu ini.

...

Gue memasukan benang itu ke jarum dan mulai menjahit. Entah itu hasilnya seperti apa yang penting lukanya menutup saja. Dia terlihat kesakitan sewaktu gue menjahit.

Satu demi satu luka gue jahit dan akhirnya semua luka tersebut tertutup. Thank you God!

"Kamu hebat juga bisa menutup luka ini."

"Iya, tapi kamu harus tetap ke rumah sakit untuk memeriksanya."

"Ah, itu urusan gampang. Besok saja bisa. Oh ya, ambilkan kapas dan kasa lagi ya. Untuk menutup luka ini."

"Oke. Abis ini aku antar kamu ke rumah ya."

"Oke, terima kasih."

Selesai menutup lukanya, gue mengantarnya pulang. Di mobil dia menjadi sesosok orang yang ceria, lukanya sama sekali tidak dipedulikannya.

"Kabar Bernard gimana? Dia baik-baik saja kan?"

"Baik-baik saja. Dia sudah kembali nakal seperti biasanya."

"Hei! Bernard itu anjing yang baik tau, penurut lagi. Kamu kurang perhatian sama dia mungkin, makanya memberontak sama kamu."

"Hei, jangan salah. Aku sudah memberikan semuanya, makanan, vitamin, semuanya."

"Iya, tapi anjing itu juga butuh kasih sayang tahu. Bukan cuma sekedar diberi makan saja, anjing bisa merasakan orang perasaan orang dari cara kamu mengelusnya."

"Wah, kamu memang dokter hewan beneran."

"Ya, kamu pikir ak bohong?"

"Kita sudah sampai di rumahmu." Gue memberhentikan mobil pas di depan rumahnya.

"Kamu gimana pulangnya?"

"Aku jalan saja. Rumah kita kan tidak terlalu jauh."

"Makasih ya. Buruan gih kamu pulang."

"Begini cara kamu memperlakukan orang yang sudah membantu mengobatimu?"

"Bukan begitu maksudku.. tapi.." belum  sempat dia menyelesaikan kalimatnya, suaminya keluar dari rumahnya dengan muka merah sambil membentak-bentak.

"Ngapain kamu baru pulang jam segini, hah? Itu siapa lagi? Kamu selingkuhannya ya?" Katanya sambil menunjuk gue.

"Udah, nanti aku jelasin di dalam. Dia yang udah nolong aku, ini udah malam nanti tetangga pada bangun semua. Udah buruan deh kamu pulang."

"Oke," kata gue sambil berjalan menjauh dari rumah itu. Gue masih bisa mendengar mereka bertengkar hebat dari kejauhan disertai dengan bunyi teriakan kesakitan dari Ani. Tapi kalau gue kesana pasti akan menambah masalah saja. Ya sudah gue pulang saja.

Di rumah tidak ada tanda-tanda keberadaan Gede. Untuk malam ini gue akan bermalam disini dulu dan besok gue akan mencari kost-kostan. Gue tidak sudi tinggal lagi bersama Gede.

Keesokan hari Gede masih belum pulang. Entah dimana dia menginap malam tadi gue tidak peduli, mungkin dia menginap di rumah Ayu, 'kekasih barunya'. Sayangnya tidak ada yang menyiapkan gue sarapan lagi, ah gue harus masak mie untuk sementara.

...

Gue sudah menyurvei kost-kost yang cukup terjangkau tapi layak dihuni juga. Proses memilih kost itu kurang lebih sama dengan memilih perempuan, sama-sama ribet. Butuh waktu 4 jam baru gue bisa dapat kost yang sreg ama gue. Kost pertama yang gue kunjungi harganya memang sangat terjangkau, 300 ribu saja. Tapi dengan keadaan kamar kosong, untuk mandi pun harus menimba air dari sumur. Tentu saja gue tidak memillih kost itu. Ada juga kost yang bagus, dengan kamar mandi dalam dan interior yang lengkap. Tapi harganya, Wow. Kalau gue mau kost disitu gue harus berhemat keras supaya biaya hidup dan biaya kost gue pas dengan gaji gue.

Tapi setelah perjuangan keras akhirnya gue menemukan kost yang pas. Selain itu kost-nya juga dekat dengan tempat kerja gue. Jadi gue bisa menghemat biaya bensin segala. Tapi gue harus memastikan satu hal dulu, gue ingin melihat kondisi Ani.

Gue ke klinik Ani dan kebetulan ternyata dia sudah mau pulang. Terlihat dia sedang mengunci pintu kliniknya. Gue mendekat ke belakangnya.

"Hei Ani!"

"Oh kamu, menganggetkan saja. Ngapain kamu kesini?"

"Mau mengantarkan kamu ke rumah sakit."

"Ga usah repot-repot. Aku bisa pergi sendiri kok."

"Ga, kan aku yang nyebabin kamu kaya gini. Ya aku harus tanggung jawab dong."

"Ya udah lah kalo itu maumu. Naik mobilku saja ya, panas soalnya. Kamu yang menyetir," kata Ani sambil menyerahkan kunci mobilnya ke gue. Setelah itu kami masuk ke mobil.

"Kemarin gimana suamimu?"

"Gapapa kok. Tenang aja, hehehe." Gue melihat sekilas ke Ani dan terlihat ada bercak merah di belakang lehernya.

"Lha itu luka karena apa?"

"Hah? Yang mana?"

"Yang di dekat leher."

"Oh, itu kan gara-gara kamu kemaren. Masa ga liat?"

Sumpah kemaren luka itu tidak ada. Mungkin suaminya melakukan sesuatu yang ekstrim kepadanya, ternyata orang menikah juga tidak bahagia. Gue merasa iba dengan Ani.

Setelah kami tiba di rumah sakit, kami langsung menemui dokter. Setelah dicek dia mengatakan bahwa orang yang menjahit dia adalah dokter terburuk yang pernah ada, beruntung lukanya bisa tertutup. Lalu dia mengganti jahitan tersebut dengan yang baru dan menyuruhnya rujuk lagi minggu depan.

"Terima kasih ya udah mau nganterin."

"Ya, gapapa kok santai saja."

"Oh ya, kamu suka anjing kan?"

"Ya pasti lah, kenapa emangnya?"

"Mau ikut organisasi kami?"

"Organisasi apaan?"

"Jadi organisasi kami menampung anjing-anjing liar yang tidak bertuan, merawatnya, lalu menjualnya kepada siapa saja yang mau."

"Enggak ah, gue sibuk."

"Ayolah, coba saja datang dulu. Besok kami ada acara berkumpul untuk penggalangan dana di mall."

"Enggak deh, makasih."

"Ayolah, katanya kamu mau bertanggung jawab soal luka ini."

"Iya, kan aku udah bawa kamu ke rumah sakit."

"Ga. Itu saja belum cukup menurutku. Pokoknya kamu harus datang, kalau tidak aku tidak mau mengobati Bernard lagi."

"Ternyata kamu cewek kejam ya."

"Baru tahu ya? Hehehe"

Gue sepertinya tidak punya pilihan lain.

...

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images