Edge of Desire : Love Affair

23.43

Keesokan harinya gue berkumpul di tempat dan waktu yang dia katakan. Gue melihat stand berwarna merah dengan logo "We Love Dog" besar di tengahnya.

"Hei! Akhirnya kamu datang juga. Buruan pakai ini," katanya sambil menyerahkan kostum anjing ke gue.

"Hah? Ini buat apaan?"

"Buat dipake lah. Udah buruan gih ganti supaya kita bisa mulai."

"Ya tapi ga gini juga kali.."

"Ingat kesepakatan kita semalam."

See? I have no choice.

Kostum itu berbentuk anjing bulldog yang menutupi wajah gue yang bete abis. Gue tidak tahu harus ngapain kalau ketemu kenalan gue.

"Nah, itu bagus kalau pake kostum itu."

"Iya. Makasih."

"Ayo coba bagi brosurnya. Kamu pasti bisa."

Gue tidak bisa. Sulit bagaimana gue harus melihat dengan mengandalkan lubang kecil di mulut anjing itu yang menganga sedikit. Pertamanya gue menabrak orang karena belum terbiasa, tapi lama-lama gue mulai terbiasa dengan kostum konyol ini. Gue harus kebelakang sesekali untuk mengambil nafas karena pengap dan man, it's hot inside.

Sampai sore gue membagi-bagikan brosur tersebut dan gue sudah cukup lelah dan cukup lapar untuk membagikan brosur lagi.

"Gue capek, gue mau makan," kata gue ke Ani.

"Haduh, sebentar lagi kita selesei kok. Setelah itu kita makan bareng-bareng di restoran mall ini. Sabar."

"Sumpah tapi gue ga kuat. Gue bisa pingsan kalau begini terus."

"Sabar lah, ini masih hari pertama. Minggu depan kita kampanye lagi."

"Hah? Kamu ga bilang itu sebelumnya."

"Ah, kamu saja yang tidak mendengarkan," katanya santai.

Tuhan, katakan kalau ini mimpi.

Saat berada di titik puncak kekeselan gue membagi-bagikan brosur, ada sesosok wanita yang gue kenal. Ayu. Dia mendekat ke gue dan meminta brosur. Gue masih terdiam memandangi dia. Dia melambaikan tangannya ke kostum gue.

"Maaf, bisa minta brosurnya?"

Gue memberinya satu brosur, lalu dia menerimanya. Tapi gue tidak melepaskannya. Tangan gue masih memegangi brosur tersebut dengan erat.

"Mas, tangannya."

Gue tersadar dan akhirnya melepaskan tangan gue. Gue melihat Ayu yang berjalan menjauh. Dia terlihat baik-baik saja tanpa gue, ya gimana lagi dia juga sudah tidak punya perasaan lagi dengan gue. Tiba-tiba ada yang memukul kepala gue dari belakang.

"Hei! Ada apa denganmu? Kenapa kamu seperti itu? Menakutkan tahu!" Gue tidak menanggapinya, gue masih terlalu fokus melihat Ayu.

"Ah! Aku tahu! Kamu mengalami cinta bertepuk sebelah tangan ya? Atau dia menolakmu? Ah itu mah biasa."

"Dia selingkuh dari aku," kata gue sambil berjalan menjauh dari Ani. Dia sangat terkejut mendengar jawaban dari gue. Kata-katanya berhenti keluar dari mulutnya. Sampai selesei makan bersamapun dia masih tidak berani berbicara ke gue. Saat makan gue sesekali melihatnya curi-curi pandang ke gue, mungkin karena dia merasa tidak enak.

Saat gue hendak pulang, dia menarik gue ke sebuah cafe. "Ada yang mau aku ngomongin sama kamu." Dan gue pun mengikuti dia. Kami ke kasir untuk memesan minuman.

"Kamu mau minum apa? Aku yang bayar"

"Vanilla latte saja."

"Oke, vanilla latte nya dua ya," kata dia ke petugas kasir.

"Kamu suka vanilla latte?"

"Yap. Tebakanmu tepat sekali. Kita duduk disitu saja ya." Dia menunjuk ke meja di dekat kaca. Dan setelah kami mengambil minuman, dia mulai berbicara.

"Maaf soal tadi. Itu pasti menyakitkan hatimu bukan?"

"Yah, cuma sedikit. Tidak apa-apa kok. Bukan masalah yang besar."

"Tapi tetap saja aku merasa bersalah."

Gue hanya membalasnya dengan senyuman.

"Bagaimana kamu dengan suamimu?"

"Tidak ada apa-apa kok. Kami baik-baik saja."

"Jangan berbohong."

"Iya. Aku tidak menyembunyikan apapun."

"Itu bekas luka dari suamimu, kan?"

"Hah? Yang dimana?"

"Yang di leher."

"Kan sudah aku bilang itu karena kamu."

"Aku tidak pernah mencekikmu."

"Haah.. kamu memang suka mengurusi urusan orang lain, ya. Jadi begini, suamiku sejak awal pernikahan sikapnya sudah sering kasar ama aku. Mungkin karena stress pekerjaan atau karena memang begitu wataknya aku juga tidak tahu, dia jadi emosian kalau sudah di rumah."

"Orang tuamu diam saja?"

Dia mengangguk. "Orang tuaku sudah tahu tentang kelakuannya."

"Lalu kenapa mereka diam saja?"

"Jadi pernikahan kami seperti kesepakatan bisnis antara kedua orang tua kami. Orang tua kami sama-sama mempunyai bisnis hotel dan orang tuaku membutuhkan kerja sama dari hotel orang tua suami gue untuk ekspansi bisnis . Kalau kami menikah, kesepakatan bisnisnya lancar."

"Hm, jadi orang kaya memang ribet ya."

"Ya begitulah. Jadi aku tidak bisa apa-apa. Aku sudah menceritakan kisahku, sekarang giliranmu."

"Tidak ada yang perlu diceritakan."

"Ada. Pertama-tama ceritakan dahulu tentang pacarmu yang selingkuh itu."

"Ceritanya panjang."

"Aku siap mendengarkan," katanya sambil menyedot sisa minumannya.

...

"Elo punya band? Serius?"

"Ya, tapi kayaknya bakalan bubar sebentar lagi karena itu."

"Wah, sayang ya. Coba sini, aku ingin mendengarkan lagumu."

"Jelek, tapi."

"Jangan merendah begitu. Coba sini."

"Di hp-ku tidak ada. Di laptopku baru ada."

"Haduh. Penyanyi mana yang tidak punya lagunya sendiri di hp-nya. Hmm gimana ya.." mata dia menyusuri setiap sudut ruangan. Dan dia melihat ada sebuah gitar tua di sudut cafe itu.

"Aha! Ambil saja gitar itu."

"Hah? Itu kan gitar yang sudah tua. Tidak bisa dipakai main lagian pemiliknya juga pasti..." belum selesei gue ngomong dia udah pergi meninggalkan gue dan pergi ke kasir. Dia berbincang-bincang sebentar dengan petugas kasir itu lalu mengambil gitarnya dan memberikannya ke gue.

"Sekarang tidak ada lagi alasannya kan?"

Hah, ya gue tidak punya pilihan lagi. Cewek ini selalu saja membuat gue tersudut. Gue membuka aplikasi tuner gitar dari hp dan menyetemnya. Lalu gue mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu untuknya dari tempat duduk gue sekarang. Lalu dari kejauhan gue bisa denger orang berkata "Oh, ini urban project! Ayo kita dengarkan dia!" Dan sekejap saja meja kami sudah dikelilingi oleh orang-orang yang ingin mendengarkan gue nyanyi. Di antara kerumunan orang tampak dia tersenyum saat mendengarkan gue bernyanyi.

Selesei memainkan lagu itu, gue maunya berhenti tapi orang-orang itu meminta lebih. Ya, mau tidak mau gue mainkan lagi. Petugas cafe-pun tidak masalah dengan itu. Gue malah jadi konser dadakan sekarang.

...

"Hah.. akhirnya selesei juga ya. Ga terasa ternyata kita udah sampai malam disini," katanya setelah semua orang-orang itu pergi, "Oh ya, aku harus mengurus beberapa file untuk anjing-anjing itu. Kamu bantu aku di klinik ya, kita ketemuan disana."

"Oke."

Dan kamipun pulang secara terpisah, dia mengendarai mobilnya dan gue mengendarai motor. Gue heran kenapa gue refleks ngomong 'oke' ke dia, mungkin tubuh gue sudah tahu akan bahaya yang mengancam kalau gue bilang tidak.

Sesampainya disana, dia sudah sampai duluan. Dia melambaikan tangannya, menyuruh gue untuk lekas masuk. Gue pun masuk, dan saat gue masuk ke kliniknya, dia mengunci pintu dan mencium bibir gue. Gue pun langsung melepaskan ciumannya.

"Hah? Ngapain kamu? Sudah gila ya?"

"Ya, sepertinya aku sudah gila. Tapi aku rasa aku menyukaimu."

"Apa?"

"Ya, aku menyukaimu. This is gonna sounds weird, tapi maukah kamu jadi pacarku?"

Gur terdiam sebentar untuk memikirkan jawaban. "Ya, ayo kita pacaran."

Dan gue resmi jadi selingkuhannya dia.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images