Kusta, Labelling, Stigma

00.58

Photo by: United Nations on Unsplash


Saya adalah orang yang susah mengingat nama orang saat pertama kali berkenalan. Saya juga tidak tahu penyebabnya, mungkin memang kapasitas otak saya yang tidak terlalu bagus. Untuk mengatasi hal tersebut, saya biasanya mengingat seseorang berdasarkan ciri-ciri mereka. Saya memberikan ‘label’ kepada orang tersebut berdasarkan hal yang saya lihat darinya. Entah dari penampilan, pakaian, postur, sifat atau apapun yang menurut saya khas dari orang itu. Bukankah tidak jarang kita dengan mudah memberikan label terhadap seseorang? Labelling yang kita lakukan dapat bersifat positif ataupun negatif. Bisa saja kita mengingat seseorang oleh karena dia ganteng, cantik, prestasinya banyak, pintar, dan sebagainya. Tapi bisa saja kita mengingat orang oleh karena dia pernah berbuat jahat ke kita, mulutnya bau, mukanya jelek, dan sebagainya. ‘Label’ bersifat sangat subjektif berdasarkan penilaian yang kita lakukan terhadap orang tersebut. Namun label yang kita berikan terkadang dapat berdampak lebih jauh dari hanya sekedar ‘label’.

Mari kita melihat efek label dalam dunia medis. Label sudah dikaitkan dengan dunia medis sejak tahun 1960. Label sebagai konstruksi sosiologi yang digunakkan untuk mengingatkan bahwa menjadi sakit menyebabkan konsekuensi baik fisik maupun sosial. Dalam ilmu sosiologi, penyimpangan dari norma atau aturan dari masyarakat diistilahkan sebagai perilaku deviance dan orang yang melakukannya disebut sebagai deviant. Deviance dalam sosiologi tidak selalu memiliki konotasi negatif, namun dapat menciptakan suatu batas antara kelompok “normal” dan “tidak normal”. Dalam dunia medis, “normal” adalah kelompok orang yang sehat sedangkan “tidak normal” adalah kelompok orang yang sakit. 

Terdapat banyak teori yang menjelaskan bagaimana deviance dapat terbentuk dalam masyarakat, salah satunya adalah teori labelling. Pada teori labelling, deviance timbul bukan sebagai akibat langsung dari perilaku seseorang, namun berdasarkan ‘label’ yang diberikan oleh masyarakat. Orang atau kelompok yang mendapatkan label disebut sebagai deviant. Pada teori labelling, terdapat dua jenis devianceprimary dan secondary deviance. Pada primary deviance, label yang kita berikan tidak akan menyebabkan perubahan pada pandangan orang tersebut terhadap dirinya sendiri. Sedangkan pada secondary deviance, label yang kita berikan dapat menyebabkan perubahan pada pandangan orang tersebut terhadap dirinya sendiri. Apabila semakin parah maka dapat menimbulkan stigma. Seperti yang dikatakan oleh Erving Goffman, “stigma is a powerfully negative sort of master status that affects a person’s self concept, social-identity and interactions”. 

Mari kita sama-sama melihat contoh bagaimana stigma dapat berkembang pada suatu penyakit. Pada kitab suci agama saya (Alkitab), ada satu penyakit yang sering dicatat kisahnya yaitu penyakit kusta. Kusta berasal dari bahasa Ibrani yaitu tzaraat. Kata tzaraat dipakai untuk menggambarkan berbagai kondisi penyakit kulit yang sangat menular dan tidak terbatas hanya pada penyakit kusta yang kita kenal pada saat ini. Hal ini dapat dicerminkan dalam berbagai macam kondisi medis yang ada dan tidak mengarah pada satu penyakit spesifik saja (Imamat 13; seperti pembengkakan, bintil-bintil, atau panau (1-8), bisul / borok (18-23), kusta pada lesi terbakar (24-28), kusta pada kepala atau dagu (29-37), gatal-gatal (38-39), serta kusta pada kepala (18-23)). Oleh karena terbatasnya kosa kata untuk menggambarkan berbagai kondisi tersebut pada zaman dahulu, maka diterjemahkan menjadi kusta dalam Alkitab Bahasa Indonesia. 

Seseorang dapat didiagnosis dengan kusta oleh Imam apabila memiliki tanda-tanda yang disebutkan dalam kitab Imamat 13. Apabila seorang Imam ragu, maka ia harus mengisolasi orang yang dicurigai selama 7 hari dan mengecek setelah itu. Apabila sudah terdiagnosis, ada ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh orang kusta, yaitu:
  • Mengenakan pakaian yang tercabik-cabik, rambut terurai, menutup mukanya dan berseru “najis, najis” (najis memiliki arti tidak bersih) (Imamat 13:45)
  • Tinggal terasing (Imamat 13:46)
  • Membakar barang-barang atau pakaiannya (Imamat 13:47-52)
  • Mencuci barang-barang atau pakaiannya (Imamat 13:53-58)
  • Upacara pentahiran (Imamat 14)
Apakah akibatnya? Orang yang terkena kusta ini jadi dikucilkan dan menyendiri jauh dari masyarakat dan keluarganya.

Penyakit ini bahkan diberi label sebagai penyakit kutukan yang dilimpahkan Tuhan sebagai akibat dari dosa. Penyakit ini tidak memiliki obat dan mengakibatkan kerusakan pada kulit yang bertahan selama bertahun-tahun. Penyakit ini lama-lama akan merusak tubuh penderitanya. Orang-orang yang sakit kusta ini terus hidup dalam kesedihan dan penderitaan. Hal ini mungkin tidak secara lisan tertulis dalam alkitab, namun dapat terlihat dari kerinduan mereka akan kesembuhan dengab mencari pertolongan pada Yesus (Lukas 5:12, 17: 13). Mereka juga sangat senang saat sembuh (Lukas 5:15, 17:14, 15, 16).

Saat ini telah diketahui bahwa orang yang terkena kusta dipandang sebagai penyakit yang mempunyai sebab dan penjelasan medis yang jelas. Namun saat masa itu, orang-orang pasti melabel orang yang terkena kusta adalah orang-orang berdosa yang dihukum oleh Tuhan. Apabila penderita kusta tidak kehilangan pandangan terhadap dirinya maka hal ini disebut primary deviance. Namun apabila respon dari masyarakat mengakibatkan orang-orang kusta merasa tidak layak lagi hidup berdampingan dengan masyarakat dan menganggap dirinya berdosa maka telah terjadi secondary deviance pada orang-orang kusta. Hal ini dapat berlanjut hingga terbentuk stigma yang berkembang dalam masyarakat. Stigma juga dapat dilihat pada pandemi-pandemi penyakit pada beberapa tahun belakang, seperti influenza H1N1, SARS, Tuberculosis, HIV AIDS, penyakit kejiwaan, serta penggunaan obat-obatan terlarang. 

Stigma adalah salah satu usaha menjauhkan orang yang sakit dengan orang yang sehat. Memang mungkin cara ini efektif, namun banyak efek negatif yang dapat dirasakan oleh orang yang terkena stigma. Stigma memiliki asosiasi terhadap perburukan luaran dari penderita, penurunan kualitas hidup serta fungsi tubuh. Individu yang telah mendapatkan stigma memiliki kecenderungan untuk menutupi kondisi yang sebenarnya dan tidak datang untuk mendapatkan terapi yang dibutuhkan oleh mereka. Hal ini terjadi baik pada negara yang sedang maupun sudah berkembang. Stigma juga dapat menyebabkan sulitnya deteksi penyakit dan menurunkan ketaatan dalam menjalankan proses terapi. Stigma dapat menjadi masalah dalam upaya untuk mendukung kesehatan publik. Tidak ada alasan yang dapat menjustifikasi mengenai stigma terhadap sebuah penyakit.

Pada dunia medis, dikenal istilah ‘faktor resiko’ bagi suatu penyakit. Hal ini membantu klinisi atau petugas kesehatan dalam memperkirakan kemungkinan seseorang menderita sebuah penyakit dan membantu dalam proses diagnosis. Semua orang punya faktor resiko terhadap suatu penyakit, entah kecil atau besar. Kita menjalani kehidupan, beraktivitas, bertemu dengan orang lain, dan sebagainya dengan membawa faktor resiko terhadap suatu penyakit. Jadi entah bagaimana, kita masih memiliki peluang untuk menderita salah satu dari penyakit itu. Kita sudah mempelajari mengenai bagaimana teori labelling dapat menjelaskan asal usul dari stigma. Namun selain itu, melalui teori labelling kita juga dapat menemukan solusinya. It’s all about our responses. Bagaimana respon kita selama ini saat melihat orang dengan penyakit-penyakit tersebut? Bagaimana kita menanggapi apabila ada kerabat atau orang dekat yang terkena penyakit? Respon yang kita berikan sangat menentukan dalam proses pembentukan dari suatu stigma. 

Respon bergantung kepada pengetahuan kita terhadap suatu penyakit. Pengetahuan yang kurang hanya akan menimbulkan ketakutan yang tidak rasional. Kita harus mengetahui darimana penyakit itu berasal, bagaimana cara kita bisa tertular, apa saja faktor resikonya, dan cara mencegahnya. Sehingga respon yang kita berikan bukan hanya berdasarkan ketakutan, akan tetapi dengan pemahaman mengenai resiko yang sebenarnya kita hadapi. Dengan pengetahuan yang kita miliki, rasa empati dan kepedulian kita terhadap sesama akan muncul. Bukan orangnya yang harus sama-sama kita jauhi, akan tetapi kita harus bersama-sama menjauhkan penyakit dari orang-orang tersebut. 

Yesus sudah memberi teladan dengan menyentuh serta menyembuhkan orang dengan sakit kusta (Lukas 5:13). Bukan berarti kita harus menyentuh setiap orang yang sakit, namun saya lebih menekankan kepada kasih dan kepedulian yang dapat kita berikan kepada sesama kita yang sakit. Kita dapat memberi bantuan secara langsung maupun tidak langsung. Kita dapat memberikan pengetahuan pada sesama agar respon dari masyarakat berubah. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan, kampanye kesehatan, dan sebagainya. Sekarang bahkan kita bisa melakukannya tanpa harus bertatap muka. Dengan teknologi, kita dipermudahkan untuk berkomunikasi dan berbagi kasih kepada sesama. Apabila kita tidak dapat mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang banyak, maka kita dapat memberikan perhatian dengan menanyakan kabar, memberi semangat, atau mendengarkan keluh kesah mereka yang sakit disekitar kita. 

-Spread the Love, not the Stigma-

Cheers!




Sumber:
  1. Crinson I, Martino L. Section 4: Concepts of primary and secondary deviance [Internet]. Health Knowledge. 2020 [cited 12 May 2020]. Available from: https://www.healthknowledge.org.uk/public-health-textbook/medical-sociology-policy-economics/4a-concepts-health-illness/section2/activity3/answers 
  2. Crinson I, Martino L. Section 5. Stigma and how to tackle it [Internet]. Health Knowledge. 2020 [cited 12 May 2020]. Available from: https://www.healthknowledge.org.uk/public-health-textbook/medical-sociology-policy-economics/4a-concepts-health-illness/section3
  3. Grzybowski A, Nita M. Leprosy in the Bible. Clinics in dermatology. 2016 Jan 1;34 (1):3-7
  4. Sabda.org
  5. Kane JC, Elafros MA, Murray SM, Mitchell EM, Augustinavicius JL, Causevic S, Baral SD. A Scoping Recview of Health-Related Stigma Outcomes for High-Burden Diseases in Low- and Middle-income countries. BMC medicine. 2019 Dec; 17(1):17.
  6. Https://thecrashcourse.com/courses/sociology 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images