Edge Of Desire : Breaking Apart

00.17

Hai:) setelah sekian lama baru ada seri yang baru, maaf karena kemarin-kemarin belum ada inspirasi. Happy reading:)

...

Semenjak menjadi selingkuhan si Ani intensitas kerja jantung gue jadi meningkat tajam. Kayaknya tidak ada satu pun hari dimana jantung gue tidak berdegug kencang. Bayangkan saja, nelfon dia malam-malam harus berhati-hati supaya tidak ketahuan, pergi makan bareng saja tidak bisa tenang. Gue takut banget kalau ketauan di kampret alias suaminya dia yang tahulah, galaknya minta ampun. Mungkin gue bisa dihajar habis-habisan kalau ketahuan, dan Ani tidak peduli itu. Dia masih tidak kapok-kapoknya ngajak gue nge-date. Gue bisa bilang apa selain iya? Rencananya malam ini kami nge date.

Malam ini kami berencana untuk makan di satu restoran Italia yang cukup terkenal di daerah Seminyak. Gue menjemput dia dari tempat kerjanya dan langsung berangkat kesana. Gue dan dia sama-sama belum ganti baju maupun belum mandi. Sesampainya disana kami harus berdiri mengantri karena tempatnya ramai sekali. Kami diberi 1 gelas cola sembari menunggu.

"Capek?" Tanya Ani ke gue.

"Yeah. Sedikit, hari ini di kantor kerjaannya banyak banget."

"Aku malah capek menunggu saja. Daritadi cuma ada 1 atau 2 hewan yang sakit."

"Ah, aku baru ingat. Besok kita kampanye lagi kan?"

"Hahaha kok ingat saja. Ya, kita kampanye lagi."

Kami dipanggil oleh seorang waitress dan dituntun ke meja yang kosong di pojok kaca, tempat kesukaan gue. Dan di balik kaca itu ada kebun kecil yang ada di dalam cafe tersebut. Kami diberikan kertas menu dan seperti kebiasaan kami sebelum memilih menu, Ani melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada kenalan dari suaminya.

"Menemukan seseorang yang familiar?"

"Hmm.. sepertinya aman. Kita bisa makan disini dengan tenang."

"Baguslah.. Terus awasi siapa saja yang datang, ya."

"Roger that."

Gue memesan Spaghetti Aglio Olio E Peperoncino, sedangkan Ani memesan Grigliata Mista Di Pesce. Sang waitress segera menuju ke belakang untuk memasukan orderan kami.

"Tidak pernah kah kamu menonton film James Bond?" Tanya gue.

"Hm.. Sepertinya pernah. Kenapa memangnya?"

"Ya aku merasa kalau setiap kali kita bertemu rasanya sama seperti James Bond saat sedang mengintai. Sayang kalau misalnya ketahuan sama suamimu, akan jadi pembantaian."

Dia tertawa mendengar lelucon itu, "Ya enggaklah, dia bisanya kan cuma nyakitin perempuan saja."

"Tidak pernah berpikir untuk menceraikannya?"

"Entahlah, tapi itu akan menjadi proses yang susah. Kamu tahu kan kami terikat semacam perjanjian bisnis, rasanya ingin menjadi bebas."

"Kupikir orang kaya tidak punya masalah hidup."

"Jangan salah, kadang permasalahan orang kaya itu lebih ribet dari yang tidak. Contohnya aku ini."

Sampailah hidangan yang kami pesan. Kami langsung memakannya karena kami berdua sama-sama lapar dan capek. Saat asik-asiknya makan tiba-tiba mati Ani menangkap sesosok yang familiar.

"Tunggu, sepertinya itu mirip seseorang," katanya sambil menyipitkan matanya, memfokuskan penglihatannya ke wajah orang itu. "Sepertinya mirip seseorang, tapi siapa ya. Kok aku lupa."

"Siapa? Sahabatnya? Saudaranya?"

"Entahlah aku juga lupa. Oh tidak dia melihatku," katanya panik. "Lalu gimana? Kita harus gimana?" "Tetap tenang. Duduk yang tegak agar aku bisa bersembunyi di balikmu."

Gue melakukan sesuai yang diperintahkan dia. "Sekarang dia mendekat kesini, jangan panik. Biar aku saja yang bicara."

"Hai! Ani ya?" Sapa pria itu. Dia pria yang mapan, terlihat dari cara ia berpenampilan. Dia seperti seorang manager perusahaan, dia memakai kemeja putih polos dengan celana panjang kain berwarna navy blue ditambah sepatu berwarna cokelat terang. Kalau dilihat-lihat penampilannya dari atas sampai bawah barang-barangnya terlihat berkelas.

"Hah? Bukan. Salah orang kali," jawab Ani dengan bodohnya.

"Ya, kamu pasti Ani. Penglihatanku tidak mungkin salah. Masa kamu lupa aku? Aku Gus De, sahabatnya suami kamu dari kecil. Masa lupa?"

"Hah? Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan," jawab Ani dengan lebih bodoh.

"Kita kan pernah ketemu waktu kalian married. Ayolah, kamu pasti ingat."

"Bukan, bukan. Kamu jangan sok kenal gitu ya! Mbak, tolong usir dia ya! Saya tidak kenal sama orang ini dan dia mengganggu saya!" Teriaknya sampai membuat seisi cafe memasang mata ke kami bertiga. Tak lama, seorang waitress datang dan meminta Gus De itu untuk pergi, dia pergi dengan wajah kebingungan.

"Nah, sekarang masalahnya sudah selesai! Aku hebat kan?"

"Kamu itu pintar-pintar bodoh."

"Kuanggap itu sebagai pujian," balasnya enteng.

"Itu bukannya malah bikin dia tambah curiga ya?"

"Ya, enggaklah. Santai aja kali, jangan terlalu dipikirkan. Kita nikmatin aja malam ini, oke?"

Lalu kami berbincang-bincang seperti tidak terjadi apa-apa. Untung saja tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi, dan gue pulang dengan wajah yang masih utuh.

...

Gue tetap menjalani hidup seperti biasanya, bangun, kerja, pacaran, pulang. Oke gue ngaku sebenarnya rutinitas gue tidak seperti biasanya. Gue tidak pernah lagi memainkan ataupun mendengarkan lagu. Entahlah gue jadi malas saja semenjak kejadian yang lalu. Kalian pasti bertanya bagaimana nasib dari band gue, Urban Project. Gede mengirimkan pesan ke hp gue dan mengajak gue untuk ketemuan. Sabtu malam besok kami sepakat akan membahasnya di rumah Gede.

Waktu gue sampai di rumahnya, dia membawa gue ke lantai 2 tempat dimana kami biasa duduk-duduk setelah latihan band. Dia bahkan membawa 2 kaleng beer, seperti dulu.

"Baiklah, kita mulai darimana ya," kata Gede ke gue dengan nada pelan.

"Pertama gue minta maaf dulu atas kejadian kemaren, tapi mungkin ada sedikit kesalahpahaman diantara kita. Gue bisa jelasin semua kok."

"Gue kesini bukan untuk denger alesan basi elo. Udah cepetan bahas band kita aja, gue males kalau disuruh ngomong lama-lama ama elo," jawab gue dengan nada tinggi.

"Beneran elo tidak mau mendengar penjelasan gue?"

"Tidak mau!"

"Ya sudah. Kamu maunya gimana? Berhenti atau tetap melanjutkan band ini?"

"Gue maunya keluar dari band ini. Terserah elo mau tetap pakai nama band ini atau tidak."

"Elo tidak sayang sama band ini? Band kita kan sudah sebesar ini."

"Terserah. Gue tidak sudi lagi kalau harus berdua ama elo, pengkhianat!"

"Gue tidak bisa melanjutkan band ini sendirian. Ya sudah mungkin memang Urban Project harus bubar."

"Ya, udah. Sudah selesai kan pembicaraannya? Gue pergi dulu."

"Elo tidak mau minum beer dulu?"

"Makasih," kata gue sambil berjalan menjauh dari Gede. Akhirnya sekarang lega juga, gue tidak terikat apa-apa lagi dengan Gede. Sudah salah, sok ingin memberi penjelasan lagi. Bikin neg aja orang itu.

...

"Apa? Band kalian berhenti?" Kata Ani kaget.

"Iya, kenapa? Kamu tahu darimana berita itu?" Jawab gue santai.

"Di fan page kalian lah. Sayang banget. Kalian kan sudah cukup terkenal."

"Hah? Fan page? Memang ada ya?"

"Iya, masa kamu tidak tahu. Makanya sayang kalau bubar."

Sekarang gue tahu kenapa konser kami selalu ramai. Ada seseorang yang membuat fan page tersebut, siapapun dia gue berterima kasih banget.

"Iya mau bagaimana lagi? Aku tidak sudi pokoknya kalau harus ketemu-ketemu lagi sama Gede."

"Lalu bagaimana Gede? Dia terima dengan keputusanmu?"

"Ya, sepertinya begitu sih."

"Dia tidak mengatakan apa-apa selain itu?"

"Dia malah membahas kejadian yang dulu lagi."

"Dia bilang apa saja?"

"Dia malah sok-sok minta maaf dan juga sok-sok mau memberi penjelasan. Munafik banget."

"Yah.. Bagaimana kalau dia memang benar-benar tulus minta maaf dan memberi penjelasan. Kenapa kamu tidak mau mendengarkannya dulu?"

"Yah, udah ah aku malas bahas ini lagi."

Ani tiba-tiba memukul kepalaku. "Dasar bodoh!"

"Ah! Kenapa kamu mukul aku begitu? Sakit tahu!"

"Abis kamu bodoh sih! Jangan menyesal ya kalau nanti terjadi apa-apa!"

"Iya, iya! Eh sebentar hp ku bunyi."

Gue mengambil ponsel dari kantong gue dan gue kaget banget siapa yang telfon gue. Disitu tertulis dengan jelas, gue tidak mungkin salah lihat. Dia Ayu.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images