Piye kabare? Enak jamanku to?

19.58

Photo by Chris Curry on Unsplash

Dulu ayah saya gemar mengabadikan momen-momen keluarga dalam foto. Foto-foto tersebut disimpan dalam album dan masih ada sampai sekarang. Saya suka melihat-lihat album foto lama tersebut. Tiap kali membukanya, saya dapat dengan mudah mengingat bahkan merasakan kenangan-kenangan serta perasaan yang tersimpan di balik foto itu. Sangat menyenangkan sekali, pikir saya. Seperti hidup tanpa ada beban atau pikiran-pikiran di dalam pikiran saya saat itu. Tidak ada deadline, tidak memikirkan ujian, atau yang paling simple saja tidak perlu berpikir mau makan apa nanti karena semuanya sudah tersedia. 

Kalau dipikir lagi, beberapa tahun kebelakang sepertinya tidak sesusah dan seribet saat ini. Tidak ada penyakit macam-macam seperti virus COVID-19, persaingan ekonomi yang tidak terlalu ketat, situasi sosial yang lebih kondusif, musik dan film yang lebih baik, dsb. Sampai-sampai muncul meme yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “Bagaimana kabarnya? Masih enak jaman saya kan?” 


Memang kalau dikenang, masa lalu memang terlihat lebih menyenangkan. Tapi apakah benar semuanya seindah apa yang kita pikirkan? Kita sebagai manusia terkadang cenderung untuk melihat masa lalu lebih indah dari yang seharusnya terjadi. Ini bisa terjadi karena berbagai hal:

Semakin dewasa, semakin susah kita dibuat terpukau terhadap sesuatu. Studi yang dilakukan oleh Tory Higgins dan Charles Stangor pada tahun 1988 menemukan bahwa saat kita membuat suatu penilaian, kita biasanya akan membandingkan hal tersebut dengan sesuatu yang lain. Misalnya saat kita merasa konser yang dilihat bagus, artinya kita merasa bahwa konser tersebut lebih bagus dari konser-konser yang sebelumnya pernah kita lihat. Saat kita memikirkan kejadian-kejadian di masa lalu, kita hanya akan mengingat pandangan terhadap kejadian tersebut dan tidak mengingat faktor pertimbangan atau pembandingnya. Semakin dewasa, akan semakin banyak pengalaman dan pembanding yang kita miliki, sehingga semakin susah bagi kita untuk dibuat terpukau karena ‘standar’ yang kita miliki lebih tinggi dari masa lalu. Hal itu yang membuat kita melihat bahwa masa lalu lebih baik dari masa kini. 

Alasan yang kedua adalah masa lalu menyediakan ‘kepastian’. Setiap orang suka kepastian, kalau pasangan kita saja tidak memberi kepastian pasti kita akan merasa tidak nyaman dan sulit untuk percaya. Begitu juga dengan kehidupan, kita cenderung menyukai masa lalu karena kita sudah mengetahui hasil dan akibat dari perbuatan kita dahulu. Kesuksesan, prestasi yang didapat, kenangan bodoh, dan sebagainya dapat kita lihat dengan jelas. Sedangkan kalau masa kini kita tidak mengetahui apa-apa, semuanya tidak pasti dan kita merasa tidak nyaman. 

Alasan yang ketiga adalah kita cenderung berpikir lebih abstrak saat mengingat kejadian masa lalu, sehingga tidak bisa mengingat detail setiap kejadian yang ada pada saat itu. Sebaliknya, pada masa kini kita dihadapkan pada masalah-masalah detail yang tidak bisa kita lewati seperti cicilan, tugas-tugas, atau tuntutan lainnya. Saat mengingat sesuatu, otak kita meningkatkan memori yang kita kehendaki dan menginhibisi memori yang tidak kita kehendaki. Kemampuan menginhibisi tersebut dapat menurunkan kemampuan kita untuk melihat masa lalu dengan jelas. Hal ini bisa dijelaskan pada penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Storm dan Tara Jobe pada tahun 2012.  

Oleh karena itu, tidak selalu masa lalu lebih baik dari masa kini. Masa lalu mempunyai kesusahan dan kesenangannya sendiri, begitu juga dengan masa kini. Karena itu kita tidak boleh fokus pada masa lalu. Marilah kita fokus melihat masa kini dan menghidupi momen-momen yang ada. Dengan itu kita dapat dapat terhindar dari penyesalan di masa lalu. Cheers!

.
.
.

Therefore do not be anxious about tomorrow, for tomorrow will be anxious for itself. Sufficient for the dat is its own trouble” - Matthew 6:34 (ESV)



Sumber:


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images