Looks Are Everything
07.27
Don’t judge a book by it’s cover
Pepatah ini sering dipakai dalam keseharian kita agar tidak melihat seseorang hanya dari segi fisik atau luar saja. Meski sering kita dengarkan, namun sering kali berbeda dalam penerapannya.
Saya melampirkan kasus dari Vice, semasa SMA Dani Pearsall sering dipanggil “perempuan naga” karena dianggap ambisius dan semangat belajar. Dia juga dipandang sebagai perempuan yang kasar dan kaku. Teman sekelasnya pun sering merasa malas kalau menjadi pasangan tugas kelompok bersama dengannya. Namun, semua berubah setelah Dani kuliah. Sesama mahasiswa dalam kelas penulisan kreatif berebut agar dapat sekelompok dengan dia. “Mereka selalu bilang, ‘Ya ampun, kamu tuh keren banget deh,” ujar perempuan yang kini bekerja sebagai manajer toko itu. Saat kuliah, Dani berubah jadi cakep banget secara fisik.
Cerita yang mirip datang dari Jud Nichols, pengacara berusia 31 tahun asal Minnesota, Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun, dia sering tak dianggap oleh lingkaran pertemanannya yaitu sesama anggota tim basket kampus. Bahkan awalnya dia tidak pernah dipuji anggota timnya, sampai akhirnya wajahnya menjadi ganteng. “Sejujurnya aku pemain basket yang biasa banget,” ujarnya sambil tertawa, “tapi sekarang mereka sering bilang ‘Elo jago banget mainnya bung!”
Kasus diatas merupakan contoh nyata akan seberapa pentingnya penampilan fisik terhadap persepsi yang timbul dari orang lain. Setuju atau tidak setuju, penampilan merupakan aspek yang penting dalam hidup dan orang lain sering menilai seseorang dari penampilan fisik. Hal ini sering kita lakukan tanpa sadar dan berulang-ulang. Dari penampilan seseorang akan timbul persepsi yang berbeda-beda dan seringkali menguntungkan bagi mereka yang memiliki wajah menarik. Mereka yang berwajah menarik biasanya dianggap lebih pintar, kompeten, cakap, dan sebagainya. Sedangkan persepsi yang berkebalikan akan timbul pada orang yang berpenampilan kurang menarik.
Bagaimana otak kita dapat menilai seseorang memiliki penampilan yang menarik atau tidak dan bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi persepsi kita?
Riset yang paling banyak dilakukan mengenai kemampuan seseorang untuk menilai hal tersebut adalah berdasarkan kemampuan seseorang untuk menilai karakteristik wajah. Sebagian kecil riset juga memfokuskan pada kemampuan seseorang untuk menilai berdasarkan karakteristik tubuh. Kedua kemampuan tersebut melibatkan bagian otak yang berbeda. Otak sebagian besar menggunakan tiga bagian kognitif utama untuk menilai wajah dari seseorang apakah seseorang menarik atau tidak.
Visualisasi wajah seseorang yang ditangkap oleh mata akan disalurkan kebagian otak kita yaitu fusiform face area (FFA) dari fusiform gyrus (FG) yang dapat mendeteksi berbagai fitur serta proporsi dari wajah seseorang khususnya mata, hidung, serta mulut. Berdasarkan pengenalan fitur-fitur dari wajah tersebut maka seseorang dapat mengenali orang lain. Area FG ini akan merespon lebih cepat pada wajah yang menarik dibandingkan dengan wajah yang tidak menarik. Informasi visual tersebut tidak hanya akan berhenti disana, namun akan diteruskan ke area bernama superior temporal sulcus (STS) yang akan membantu interpretasi dari berbagai gerakan pada berbagai fitur dari wajah seperti tatapan mata, gerakan bibir, serta ekspresi dari wajah. Terakhir, area yang melakukan penilaian dari informasi-informasi yang sudah diterima adalah area occipital face area (OFC) dan ventral anterior temporal lobes (vATLs). Terdapat juga berbagai area wajah yang membantu penilaian dari emosi seseorang seperti amygdala, insula, dan sistem limbik. Apabila melihat wajah yang menarik, maka dapat terlihat peningkatan dari aktivitas OFC dan area ini akan menghasilkan ‘reward’ atau umpan balik berupa hormon dopamin dan sebagainya. Namun saat melihat wajah yang kurang menarik maka aktivitas dari OFC tidak akan setinggi saat melihat orang dengan wajah yang menarik.
Sementara penilaian berdasarkan ciri-ciri tubuh akan melibatkan lobus temporal dari area extrastriate body (EBA) dan area fusiform body (FBA). Informasi ini akan diolah menuju ke OFC dan anterior cingulate cortex untuk melakukan penilaian. Faktor hormon turut berperan dalam penilaian apakah seseorang menarik atau tidak. Penilaian tersebut tidak lepas dari usaha seseorang untuk melakukan reproduksi yang sangat berhubungan dengan persepsi dari umur dan derajat kesehatan dari seseorang. Penilaian dari proporsi wajah maupun tubuh, warna kulit, ada atau tidaknya kerutan, serta ukuran dari kaki seseorang merupakan fitur-fitur yang menjadi bahan pertimbangan terhadap umur dan derajat kesehatan dari seseorang. Semakin muda dan semakin bagus derajat kesehatannya, maka dianggap mampu untuk bereproduksi. Penilaian ini pun sering kita lakukan secara tidak sadar, penelitian yang dilakukan oleh Anjan Chatterjee yaitu dengan meminta subjeknya untuk menentukan apakah sepasang wajah yg ditunjukan adalah orang yang sama atau tidak. Saat diteliti, wajah yang menarik tetap akan lebih meningkatkan aktivitas dari korteks visual dari otak dibandingkan wajah yang tidak menarik. Hal ini secara tidak sadar terjadi walaupun subjek sedang menilai identitas dari wajah seseorang dan tidak sedang menilai penampilan dari wajah seseorang.
Area OFC yang sudah saya sebutkan tadi memiliki aktivitas neural yang bertumpang tindih terhadap respon dari penampilan yang menarik dan kebaikan. Oleh karena itu secara tidak kita sadari menimbulkan persepsi bahwa ‘beauty is good’ yang dapat menimbulkan berbagai persepsi sosial yang sudah saya sebutkan tadi. Hal ini dapat menimbulkan efek yang buruk pada kita semua karena akan menjadikan kita hanya selalu berfokus hanya pada pengembangan dari penampilan luar saja. Memang penampilan yang baik akan menimbulkan persepsi yang baik, namun tidak jarang bahwa persepsi tersebut berbeda dengan kenyataannya. Studi yang dilakukan oleh Talamas et al. menemukan bahwa adanya perbedaan antara persepsi yang timbul dari wajah seseorang terhadap performa akademis dan tingkat kepintaran yang sebenarnya. Serta ditemukan pula bahwa wajah dari seseorang tidak memiliki korelasi terhadap performa akademis serta tingkat kepintarannya. Kesalahan persepsi ini disebut sebagai ‘attractiveness halo effect’. Hal ini tidak hanya terbatas pada performa akademis dan kepintaran saja, namun banyak sekali contoh-contoh penelitian yang bisa kita temukan sendiri dalam attractiveness halo effect ini.
Dapat disimpulkan dari penjelasan tersebut bahwa otak kita dapat menilai dengan baik penampilan dari seseorang apakah menarik atau tidak. Namun, kita tidak dapat mengandalkan persepsi yang timbul dari penampilan luar saja karena efek bias yang ditimbulkan dari ‘attractiveness halo effect’. Lalu apa yang bisa kita pelajari disini?
- Penampilan luar memang penting, namun bukan lah segalanya. Kita perlu juga untuk memperhatikan sikap dan sifat yang kita miliki. Sikap dan sifat yang baik jauh lebih berharga daripada paras yang menarik. Namun kita tetap perlu untuk berpenampilan yang baik untuk menghargai diri kita sendiri
- Persepsi orang terhadap penampilan kita bukanlah urusan kita. Bagaimana kita melihat diri kita sendiri? Apakah kita sudah cukup puas terhadap diri kita sendiri? Tuhan menciptakan manusia menurut gambarNya dan tidak ada ciptaanNya yang salah. Tuhan juga memandang setiap kita sebagai sosok yang indah, apakah kita sebagai ciptaanNya layak untuk seenaknya bersikap tidak adil ataupun merendahkan seseorang berdasarkan penilaian dari penampilan luar saja?
- Kita harus berhenti membuat persepsi dari seseorang hanya berdasarkan penampilan dan berusaha untuk berperilaku adil kepada setiap orang tanpa memandang wajah mereka. Pengenalan akan seseorang tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu yang singkat saja. Dibutuhkan waktu dan juga energi yang lebih untuk dapat mengenal seseorang, but it is worth it.
Memang kita tidak bisa menentukan kita lahir sebagai seseorang dengan penampilan yang menarik ataupun dapat memilih sifat yang kita miliki. Kita bukanlah orang yang sempurna dan setiap orang memiliki kelebihan maupun kekurangan. Ada sebuah istilah dari Jepang yaitu Wabi-Sabi yang menghargai keindahan dari ketidaksempurnaan dari suatu barang. Konsep ini menarik apabila diterapkan dalam kehidupan. Kita sebagai sesama orang yang tidak sempurna tidak berhak untuk menilai ataupun menjudge dari seseorang, yang dapat kita lakukan hanyalah hanyalah mendukung seseorang agar dapat terus berkembang serta menerima kekurangan serta kelebihannya. Ketidaksempurnaan yang dimiliki oleh tiap individu merupakan
“It is perfect to be imperfect, because perfection is made up if many imperfections put together that makes it perfect,” - Yasmin Ahmad
Sumber:
0 komentar