Edge of Desire : Verse 1
05.53"Hei elo terlambat lagi. Elo selalu aja terlambat, di."
"Maaf. Tadi gue kena macet sedikit. Biasa ada upacara ngaben, jadi jalan ditutup."
"Ya, tapi waktu itu berharga, ingat ada pepatah kalau wak.."
"Ya, waktu adalah uang. Makanya kita latihan saja daripada berdebat." Kata gue sambil mengeluarkan Jules dari sarungnya. Ya, Jules adalah nama gitar gue. Gitar Taylor yang gue beli setelah menabung dengan susah payah dari gaji gue. Gue sangat sayang kepada gitar gue itu dan gue tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Jules, makanya gue beli case yang tebal.
Gue mencolok kabel amplifier ke Jules, menyalakan speaker, dan mulai menyetem Jules. Gue selalu memakai alat untuk menyetem gitar, gue tidak tahu kenapa tidak pernah biaa menyetem gitar sendiri. Tidak seperti Gede yang bisa menyetem gitar dengan mudah. Dia selalu senang mengejekku karena itu.
"Hei, sudah berapa kali gue bilang, cobalah latihan tanpa menggunakan alat itu. Elo terlihat seperti amatiran saja."
Lihat kan?
"Ya, teruskan saja. Aku tidak peduli."
...
Pertama kamk selalu pemanasan terlebih dahulu dengan sesi jamming. Kami memainkan lagu apa saja yang muncul dipikiran kami. Setelah itu baru masuk ke latihan untuk konser.
Untuk list lagunya seperti ini :
1. If I Lose It All
2. Terbakar
3. High
4. Sia-sia
5. Satisfactory
6. Hot Ice
7. Retouch
8. Ripped Pajamas
9. Andaikan manusia bersayap
10. Pinky night
11. Berkas Memori
12. Berpisah
List itu merupakan kesepakatan kami berdua. Dalam membuat list lagu tidaklah sembarangan. Gue dan Gede harus memikirkan bagaimana lagu yang pas untuk pembukaan, dimana lagu yang pas untuk titik klimaks, dan mana lagu yang pas sebagai penutup.
Gue mencoba memainkan lagu "If I Lose It All" dan setiap lagu harus kami ulajg minimal 5x untuk memastikan agar lagu tersebut pas untuk kami.
"Sepertinya intro-nya harus diubah, kurasa aku punya ide intro yang lebih bagus." Kata Gede sambil memainkan sebuah lantunan melodi gitar. "Tidak, tidak. Itu terlalu rumit. Aku mau lagu ini dibawakan sederhana dan liriknya bisa masuk ke telinga semua penonton dengan jelas."
Perdebatan tersebut biasa terjadi sepanjang latihan. Yah, kau tahu kan sifat dari Gede? Setelah kami selesei latihan semua lagu itu, ritual kami adalah membuka sekaleng beer, menyalakan sepuntung rokok, dan menikmati pemandangan tengah malam. Bisa di satu malam kami berbicara mengenai banyak hal dan bisa saja malam itu kami habiskan tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Dan malam ini sepertinya akan menjadi malam tanpa sepatah kata apapun.
Malam ini bulan menampakan seluruh wajahnya. Bersinar terang di antara bintang-bintang kecil yang mengelilinginya. Kami bisa melihat banyak bintang, walau tak sebanyak waktu nyepi karena polusi cahaya. Gue mulai menyalakan hp, karena saat latihan selalu gue matikan untuk menjaga agar gue tetap fokus.
Waktu gue buka, muncul notification kecil menandakan adanya chat dari pacar gue, Ayu. Seperti biasa dia selalu menanyakan kabar setelah gue selesei latihan. Dia selalu bisa menebak kapan gue selesai latihan. "Bagaimana latihan hari ini? Having a good Time there?^^" adalah chat yang selalu ia kirimkan seusai gue latihan.
"Elo masih sama si Ayu itu? Kayaknya dia lebih lama dari cewek-cewek sebelumnya. Elo serius sama dia?" Kata-kata Gede ini akan mengubah malam ini menjadi malam yang penuh cerita.
"Ya, gue suka banget ama dia. Dia beda ama cewek-cewek yang dulu."
"Oohh... Jangan sampai dia mengganggu waktu latihan kita, ya."
"Ya, tenang saja. Itu tidak akan pernah terjadi."
"Minggu depan kita survei tempat dulu, ya. Supaya gur bisa memikirkan konsep panggungnya seperti apa."
"Siap. Oh ya, boleh gue ajak Ayu?"
"Hah? Untuk apa? Nanti dia mengganggu, lagi."
"Itu tidak akan terjadi, de. Setidaknya kan elo juga bisa mengakrabkan diri dengan Ayu. Siapa tau dia calon istriku."
"Ngelantur elo. Ya sudah, tapi jangan sampai dia mengganggu, ya. Kita makan malam bersama setelah itu. Gue yang bayar."
"Hah? Serius elo? Biasanya tidak pernah seperti ini. Apa terjadi sesuatu yang bagus?"
"Tidak ada alasan khusus, sudahlah gue mau tidur. Gue capai sekali hari ini." Lalu Gede membuka pintu kamarnya dan menutupnya. Di celah atas pintunya terlihat bahwa ia mematikan lampu kamarnya, menandakan ia akan tidur.
Gue masih terjaga malam itu. Gue meminum seteguk beer, lalu menyempatkan diri menelefon Ayu.
"Hai sayang, apa kabar?" Sapaku lewat telefon.
Dan sekarang kalian harus memberikan gue privasi. Gue tidak suka orang lain mendengar telefon malamku dengan Ayu. Ini akan berlangsung sampai pagi, percayalah.
...
Gue bangun dengan suara gedoran pintu. Itu Gede. Gue melihat jam, sudah jam 9. Gue bisa bangun sesiang ini karena hari ini hari minggu dan gue baru selesei menelefon Ayu jam 3.30 pagi. Kepala gue masih terasa pusing karena waktu tidur gue yang (masih) kurang.
Dengan rambut acak-acakan dan kantung mata yang tebal gue buka kunci kamar, lalu masuk ke ruang makan. Disana tersedia sepiring nasi goreng ikan asin, makanan kesukaan gue yang merupakan masakan andalan Gede juga. Tidak seperti biasanya, ada yang salah dengan Gede belakangan ini.
"Elo kenapa sih? Kok tumben baik banget sama gue?"
"Tidak ada apa-apa, di. Kebetulan aja gue juga ingin nasi goreng ikan asin. Yuk makan, gue lapar sekali."
Gue mengiyakan saja. Saat makan gue tetap memandangi Gede yang terlihat menikmati makanan buatannya. Itu terlihat dari cara makannya yang lahap. Dia terlihat acuh menanggapi tatapan bingungku.
"Jangan-jangan elo sudah punya pacar, ya?"
"Ngawur kamu, masih belum punya kok."
"Ngaku aja deh. Dari tatapan mata elo itu terlihat kalau elo sedang jatuh cinta."
"Nggak, de. Beneran deh. Kalau elo gini terus nafsu makanku bisa hilang."
"Ooh lihat. Gede benar-benar jatuh cinta. Siapa cewek yang beruntung itu? Ini pertama kalinya bukan?"
"Sudahlah habiskan saja makanan elo Jangan banyak ngelantur. Gue mau mengecek proyek sebentar, lalu kita pergi survei tempat konser." Kata Gede sambil membereskan piringnya. Dia tidak pernah mau mejanya berantakan oleh piring-piring.
"Siap, bos." Gue masih makan dengan santai, sedangkan Gede mulai bersiap-siap. Setelah selesei merapikan meja, gue duduk di depan halaman. Gue mengambil hp dari kantong gue dan mengim pesan untuk Ayu.
"Morning, dear^^ nanti aku jemput jam 3 ya." sapa gue tahu bahwa dia belum bangun. Gue menarik nafas panjang, memasukan udara segar ke paru-paru gue. Gue merasa ada yang menjilati kaki gue. Yap, itu adalah anjing peliharaan kami yang bernama Bernard. Bernard adalah seekor anjing pug yang masih berumur 2 tahun. Gue memberi tangan gue dan dia langsung menggigitnya. Anjing yang masih muda suka menggigit karena giginya yang gatal. Gue jadi ada ide untuk mengajak Bernard jalan keluar rumah.
Gue pasang tali di lehernya dan kami pun pergi. Gue berjalan mengitari kompleks rumah kami. Bernard jarang kami ajak keluar rumah karena takut tertular kutu dari anjing lain. Jadi Bernard sedikit agresif jika harus bertemu dengan orang baru. Dia menggonggongi setiap orang yang lewat, bahkan sampai mengejarnya. Gue harus meminta maaf berkali-kali atas perbuatan Bernard tersebut.
Tiba-tiba saja tali pengekangnya lepas dan Bernard berlari dengan kencang. "Bernard! Tunggu!" Teriak gue sambil berusaha mengejarnya. Dia berbelok entah kemana dan gue berusaha mencarinya. Saat gue membungkukkan badan sebentar karena kecapekan, gue melihat Bernard sudah asik bermain dengan seorang cewek.
"Maaf ini anjingku. Namanya Bernard. Apakah dia melukaimu?"
"Tidak, dia hanya bermain-main denganku. Dia manis sekali, siapa namanya tadi?"
"Bernard," kataku. "Biasanya dia tidak ramah kepada orang lain. Kenapa dia ramah kepadamu?"
Dia hanya membalas dengan ketawa kecil.
"Ngomong-ngomong namaku Nina. Rumahku di sana." Katanya sambil menunjuk ke rumah di belakangnya.
"Aku Adi. Rumahku nomor 19 di blok D."
"Jauh juga, ya. Kapan-kapan main lagi kesini. Ajak Bernard juga boleh. Hehehehe" senyumnya sangat manis. Dia memakai kacamata, dia cantik sekali. Andai saja gue bisa berkenalan dengannya. Lumayan buat cuci mata.
"Ani!! Kesini cepat!! Bikinin kopi!!" Teriak seseorang dari ruangan tersebut. Itu pasti suaminya.
"Yaa tunggu sebentar!! Kamu pulang dulu gih, nanti kalau ketauan suamiku bisa gawat." Setelah berkata begitu ia langsung bergegas berlari kecil ke dalam rumahnya. Gue mengurungkan niat gue untuk berkenalan karena dia sudah bersuami. Gue merasa diri gue rendahan banget.
...
Sekarang jam 3. Gede juga sudah pulang, akhirnya kami bisa pergi juga. Gue paling benci kalau sendirian di rumah. Kami menaiki mobil VW kami yang 'serbaguna' itu. Pertama kami menjemput Ayu di rumahnya. Dia memakai baju sabrina berwarna putih dan memakai hot pants jeans. Pertama gue memperkenalkan Ayu ke Gede terlebih dahulu karena mereka belum saling kenal.
Saat perjalanan menuju Kuta sangatlah membosankan. Ada keheningan yang aneh diantara kami bertiga. Situasi tersebut bertahan sampai kami sampai di pantai Kuta, kami sampai kira-kira jam 4.
Setelah memarkir mobil, Gede langsung mengambil kameranya, dan memotret situasi disana supaya ada sedikit gambaran mengenai konsepnya. Gue mengajak Ayu berjalan dan bermain sendiri. Ayu mengajak kami untuk foto bersama. Dia meminta seorang bule untuk memfoto kami bertiga dengan posisi Ayu di tengah. Setelah selesai kami duduk sebentar di pinggir pantai dan meminum kelapa.
Disitu baru kami bisa mengobrol akrab satu dengan yang lain, bahkan Ayu dan Gede sempat bertukar kontak. Setelah matahari terbenam, kira-kira pukul 6.30 kami pergi ke cafe yang dimaksud Gede. Kami disana kira-kira sampai jam 9, waktu terasa cepat sekali berlalu. Kami pun memulangkan Ayu lalu pulang ke rumah lagi.
Di mobil gue sempet berpikir betapa enaknya jika dia sudah menjadi istri gue. Bisa bercanda bersama, bahkan dengan Gede sekalipun. Disitu rasa kagum gue ke Ayu semakin tinggi.
"Menurut elo si Ayu gimana?"
"Ya, baik sih," jawab Gede dengan datar.
"Gimana kalau misalnya gue melamar dia? Apakah elo setuju?"
"Hmm.. setuju saja."
0 komentar