Bad Geek : Part 3 : The Meeting Point (Timo's POV)
09.4010 tahun kemudian..
Langit ramai seperti biasanya. Bunyi berisik dari pesawat terdengar setiap menit. Setiap pesawat tadi mendarat di satu bandara, gue termasuk salah satu penumpang pesawat itu. Gue pergi jauh-jauh dari UK untuk menandatangani kontrak bisnis dengan satu pengusaha yang ada di Indonesia karena bisnis gue perlu ekspansi.
Oya gue belum cerita, gue melanjutkan kuliah di Inggris karena banyak yang bilang bahwa Inggris negaranya lebih tenang. Dan memang benar. Disitu juga gue diterima dengan baik, bukannya di-bully habis-habisan seperti yang dulu pernah gue alami waktu SMA. Gue bahkan mempunyai banyak teman akrab disana.
Orang bilang kita merasa 'hidup' saat remaja, tapi gue merasakan 'hidup' saat sudah beranjak dewasa.
Saat turun dari bandara gue langsung merasakan menyengatnya panas di Jakarta, gue sedikit mengernyitkan mata untuk bisa melihat dengan jelas. Setelah mengambil bagasi pesawat, gue menelefon untuk memastikan bahwa supirnya sudah datang. Ternyata dia sudah datang. Sambil menyelipkan telfon di bahunya, dia meninggikan papan nama bertuliskan 'Timo' supaya keliahatan.
"Nama saya Sugeng, pak. Selamat datang di Jakarta," sapanya dengan logat khas Jawa Tengah. Gue menjawab dengan senyuman. "Mari saya anter Bapak ke mobil. Mau dianter kemana sampeyan?" "Pertama saya mau makan dulu pak, lalu jam 1 ini saya mau ketemuan sama orang di hotel ini."
"Injih pak, akan saya antar segera." Dengan sigap pak Sugeng membukakan pintu mobil untuk gue. Setelah masuk, gue membuka laptop gue untuk mengecek pekerjaan gue. Sesekali gue melihat keluar jendela untuk melihat keadaan Jakarta sekarang ini. Masih terbayang di kepala gue bagaimana Jakarta sebelum gue melanjutkan sekolah di UK.
Gue inget dulu melihat hamparan tanah kosong dari kaca mobil gue, sekarang tanah itu sudah berubah menjadi bangunan yang megah. Banyak perubahan yang gue liat kecuali satu, macetnya Jakarta yang tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Itu cukup membuat gue surprised.
Setelah mengingat kenangan-kenangan tersebut gue menundukkan kepala dan menenggelamkan diri lagi dalam pekerjaan gue. "Den.. Den.. Udah sampe di restorannya." "Ohh yaa pak.." Gue langsung menutup laptop gue, pak Sugeng pun dengan sigap membukakan pintu mobil untuk gue. "Bapak udah sarapan belum? Kalau belum sarapan bareng saya aja.. Biar ga sepi.." "Aduh den, makasih banyak.. Saya makan di luar aja udah cukup.." "Bapak ga usah malu-malu, mari masuk pak."
Gue masuk bersama pak Sugeng, kami duduk di bangku pojok sebelah kaca dimana gue bisa melihat pemandangan di luar. Gue mempunyai kebiasaan ini sejak gue patah hati sama si Clarissa. Gue masih inget gimana dia menghancurkan impian gue, gue masih inget gimana dia ngehancurin harga diri gue. Rasa sakit itu masih membekas sampai sekarang.
"Selamat datang di restoran ini, silakan dibaca menunya" sapa pelayan restoran ini sambil menyodorkan menu makanannya. "Pak Sugeng mau makan apa?" "Saya terserah aja den. Yang murah aja kaya nasi goreng." "Ya udah nasi gorengnya dua. Terus pak Sugeng mau minum apa?" "Air putih aja den." "Oke kalau gitu air putihnya dua ya, mas."
Pelayan tersebut pun pergi meninggalkan kami berdua di meja. Ada keheningan yang cukup panjang diantara kita. "Kalau boleh saya tahu, Mas Timo ini ngapain jauh-jauh dari Inggris kesini? Ga capek to mas?" "Saya mau ngurusin bisnis disini pak" jawab gue singkat karena tidak mau ditanya lebih jauh lagi. "Terima kasih ya, den. Saya jarang banget lho makan di restoran gini kaya sampeyan. Paling pol ya di warteg deket rumah. Hahahahahah namane yo wong cilik den. Rak iso makan seng enak-enak koyo sampeyan."
"Saya juga tidak selalu makan di restoran terus kok, pak." Makanan yang kami pesan-pun datang. Pelayan kami pun menaruh makanan beserta minumannya. "Saya makan dulu ya, den.." "Mari pak silakan.."
Lalu pak Sugeng dengan lahapnya memakan nasi goreng tersebut, hanya saja dia tidak memakai sendoknya. Gue ngeliatin dia dengan tatapan 'What the hell?' Supaya tidak menyinggung, gue tanya pelan-pelan, "Pak, sendoknya tidak dipakai?" "Saya kebiasaan gini den, lebih enak makan pake tangan.. Coba den makan kaya saya.."
Gue tetep memasang wajah gue dengan tatapan 'What the hell?'. Karena gue tidak pernah dibiasakan makan menggunakan tangan sejak kecil. Orang tua gue berasal dari kalangan atas, jadi gue selalu diajarkan untuk makan menggunakan sendok dan garpu. Itu pun harus dengan sikap yang benar, tidak boleh terdengar suara sendok yang mengetuk piring yang kita pakai makan, saat makan tidak boleh berbicara, tidak boleh mengecap, sudut sendok dengan garpu sehabis makan harus menyilang 90° dan banyak lagi.
"Saya makan pakai sendok saja, pak.." "Ohh ya wis, selamat makan, den.." Acara makan ini pun berubah menjadi sedikit awkward. Gue pun langsung berusaha dengan cepat menghabiskan nasi goreng yang ada di depan gue. Setelah kami selesai makan, gue pun segera membayar lalu kami masuk ke mobil lagi.
"Sekarang ke hotel ini ya, den?" "Iya pak. Tolong cepat ya, soalnya waktunya sudah mepet" "Siap, den.." Gue ga mau telat karena ini menentukan nasib perusahaan gue. Gue tidak mau citra perusahaan gue jelek di mata pengusaha lainnya, karena ini termasuk kesepakatan yang besar. Sampai kesepakatan ini hancur, gue tidak tau harus gimana lagi. Supaya tidak tegang gue memutar musik di hp gue. Gue tancapkan earphone di hp dan memulai musiknya.
Musik yang gue dengerin biasanya ber genre klasik. Kali ini gue mendengarkan Summer milik Vivaldi. Gue senang dengan musiknya Vivaldi, Paganini, Dvorak, Mendelsohn, dan masih banyak lagi. Gue mulai mencintai musik klasik saat belajar memainkan biola di UK, suaranya yang lembut bisa membuat gue rileks sesaat.
Pas lagunya mencapai bar terakhir, mobil gue udah sampai di hotel ini. Pak Sugeng membukakan pintu mobil dan gue masuk ke hotel tersebut. Gue menunggu di restoran dan tak berselang lama klien gue datang. Gue segera menjabat tangannya dan membuka pembicaraan kecil.
"Bagaimana kinerja perusahaan bapak belakangan ini? Apakah baik?" "Selalu baik. Kita bicarakan bisnisnya nanti sajalah, kita santai-santai dulu saja. Masih jet-lag ya pak?" "Iya, saya baru sampai tadi pagi. Keluarga bapak sehat semua?"
Tak terasa sudah 1 jam kita mengobrol dan kesepakatan kami berjalan mulus. Yes! Gue bersyukur banget saat dia menandatangani kontrak kerjasamanya. Kami pun saling berjabat tangan lagi. "Pak Timo, untuk memuluskan kesepakatan ini saya sudah siapkan hadiah kecil untuk Bapak." Ia segera menyuruh pelayanannya membawakan 'hadiah' tersebut.
Gue kaget. Yang dateng ternyata seorang cewek. "Perempuan ini boleh bapak bawa pulang. Untuk menghilangkan stress saat bekerja hahahahahaha" tertawanya yang serak-serak basah itu terngiang di telinga gue. "Siapa nama cewek ini?" "Clarissa, pak."
Gue mulai teringat Clarissa yang dulu pernah gue sukain, dan memang benar itu Clarissa yang gue inget. Wajahnya tidak berubah sama sekali, masih sama seperti dulu. Tapi sepertinya dia tidak ingat gue. Gue tidak boleh menyia-nyiakan momen ini, gue harus bawa dia sambil memikirkan cara membalas dendam.
"Baiklah saya bawa Clarissa. Terima kasih untuk semuanya, pak. Selamat siang." "Sama-sama. Saya yang harusnya berterima kasih sama bapak. Hahahahahaha." Ini merupakan kesepakatan paling hebat di sepanjang hidup gue. Sudah bisa kerjasama, bisa balas dendam juga.
Bersambung..
0 komentar