Photo by Michael Dziedzic on Unsplash
Pada pelayanan kesehatan saya, ada seorang bapak yang datang untuk konsultasi. Beliau mengeluhkan susah berhenti merokok. Setelah saya coba gali lebih lanjut lagi, ternyata bapak tersebut adalah seorang yang melakukan praktek pengobatan menggunakan doa-doa. Beliau mengeluhkan sudah lama ingin memberhentikan kebiasaan ini. Apabila beliau yang mendoakan orang lain, maka orang lain dapat sembuh dengan sendirinya. Namun hal ini tidak pernah terjadi pada dirinya sendiri. Walaupun sudah dicoba terus menerus, namun beliau tidak berhasil menyembuhkan dirinya sendiri. Hal ini membuat saya turut menyadari keterbatasan kita sebagai pelayan kesehatan. Menolong diri sendiri merupakan hal yang sulit.
Padahal, pada prinsip dari bantuan hidup dasar, kita diingatkan untuk “amankan diri, amankan lingkungan” sebelum kita mulai untuk menolong pasien. Kita sebagai tenaga kesehatan, selalu diajarkan untuk membantu orang lain ataupun untuk mengedepankan orang lain atas diri kita. Namun, apakah kita sadar bahwa sebagai seorang tenaga kesehatan hal yang terbesar yang perlu kita perhatikan adalah diri kita sendiri? Apa yang dapat terjadi apabila kita mengabaikan hal tersebut? Banyak sekali gangguan-gangguan mental yang dapat terjadi. Fenomena ini sering dikenal sebagai Burnout syndrome. Penelitian oleh Shanafelt et al menemukan bahwa insiden dari burnout syndrome pada tenaga kesehatan adalah 37,9%. Hal ini lebih besar dari populasi kontrol (27,8%, p<0,001). Burnout syndrome dapat bermanifestasi dalam banyak hal, dapat muncul sebagai ansietas, gejala depresi, bahkan hingga keinginan untuk bunuh diri.
Apa saja yang dapat menyebabkan burnout syndrome? Faktor eksternal seperti tuntutan pekerjaan, lingkungan pekerjaan yang kurang baik, tekanan dari atasan, kerjasama yang buruk, dan sebagainya dapat berperan. Sedangkan dari dalam diri kita, sifat seperti ekspetasi tinggi, sifat perfeksionis, tidak memperhatikan diri sendiri, merasa tidak tergantikan, dan masih banyak lagi dapat menyebabkan kelelahan yang berujung pada burnout syndrome. Daftarnya terlalu panjang apabila dijabarkan satu-satu.
Kita sangat rentan terhadap burnout syndrome ini. Lantas apa yang dapat kita lakukan? Bagaimana kita bisa untuk mulai memperhatikan diri kita sendiri? Yang dapat kita atur adalah faktor-faktor internal. Kita mulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Apakah kita memiliki tempat untuk melampiaskan stress kita? Kita dapat bercerita ke rekan kerja atau orang yang kita percayai. Dapat pula kita melampiaskan hal tersebut ke hobi. Kedua adalah mencoba untuk mendengarkan diri sendiri dan mengerti batasan atau boundaries kita. Kita boleh untuk membuat batasan kapan kita dapat dihubungi, jam pelayanan yang tidak membebani kita, serta batasan dalam pekerjaan.
Tidak ada aturan atau guideline yang baku dalam memperhatikan diri sendiri. Kalau bukan kita sendiri yang memperhatikan diri kita, siapa lagi?