Tulisan kali ini sangat berhubungan dekat dengan dunia medis. Namun akan coba saya gunakan bahasa yang lebih umum dan dapat dipahami oleh kita semua. Prognosis sering kali kita gunakan dalam kehidupan praktek. Terutama saat melihat pasien yang berada dalam kondisi penyakit kronis. “Bagaimana prognosisnya?” pasti menjadi pertanyaan yang dapat dijawab berdasarkan pengalaman serta pengetahuan kita atas penyakit tersebut. Atas dasar hal tersebut, biasanya kita mengklasifikasikan hal tersebut menjadi 3:
- Dubia ad vitam (apakah seseorang akan hidup atau meninggal)
- Dubia ad functionam (apakah seseorang masih dapat menjalankan fungsi dalam kehidupannya sehari-hari)
- Dubia ad sanationam (apakah seseorang dapat sembuh dari penyakit tersebut)
Penilaian dari ketiga aspek tersebut menggunakan 3 istilah lagi yaitu bonam (baik), malam (buruk), dubia ad dubia (ragu-ragu). Apabila ketiga aspek tersebut dinilai ‘malam’, maka semakin buruk kondisi dari pasien saat itu. Sering kali kita mengaitkan prognosis sebagai kemungkinan harapan hidup pada pasien. Namun sebenarnya prognosis memiliki arti yang lebih dalam dari itu.
Istilah prognosis merupakan istilah yang sudah kuno dan sudah muncul sejak era Hippocrates. Hal ini dibahas dalam catatan Hippocratic Corpus dengan judul On Prognostics pada sekitar abad ke-4 atau 5. Prognosis secara harafiah memiliki arti “fore-knowledge” atau “knowledge before” yang diartikan dalam bahasa indonesia menjadi kemampuan meramal atau memprediksi akan masa depan. Diharapkan bahwa seorang klinisi mampu melihat seorang pasien melebihi dari apa yang diungkapkan saat ini. Seorang klinisi dapat melihat pasien berdasarkan aspek masa lalu, saat ini, serta masa depan secara berkesinambungan. Diharapkan bahwa seorang klinisi mampu merangkai cerita yang berkesinambungan berdasarkan informasi masa lalu serta saat ini yang mempengaruhi kesehatannya. Hanya dengan memahami aspek tersebut maka seorang klinisi dapat memprediksi serta memberikan tatalaksana yang terbaik untuk pasien.
Oleh karena keterbatasan dalam metode diagnosis dari penyakit pasien, maka klinisi saat itu berusaha membuat observasi serta menggali segala macam informasi yang sekiranya berkaitan. Berbagai aspek umum yang diperhatikan seperti kekuatan dari pasien, status kognitif, status nutrisi, dan sebagainya. Berbagai aspek yang lebih spesifik seperti gejala serta keluhan yang dialami pasien. Klinisi saat itu juga melihat bagaimana pasien merespon terhadap penyakit yang dideritanya, apakah mereka membutuhkan waktu yang lama untuk beristirahat ataupun berusaha “melawan” penyakitnya agar dapat pulih lebih cepat.
Saat ini terdapat berbagai model prognosis menggunakan skor yang digunakan untuk mempermudah serta menyetarakan prediksi dari kesembuhan pasien. Namun tetap saja kemampuan prognosis berdasarkan klinis menjadi sebuah kemampuan superior yang belum dapat tergantikan. Setelah bertemu dengan pasien, kadang saya bertanya apakah pengobatan yang saya berikan akan manjur. Apakah pengobatan tersebut membuat nyaman pasien? Apakah pengobatan tersebut akan diminum sesuai yang saya anjurkan? Apakah pasien mengalami efek samping dari pengobatan yang saya berikan? Terdapat banyak sekali pertanyaan dan kekhawatiran yang muncul dalam hati saya hanya untuk memastikan pasien tersebut bisa kembali sehat. Saya terkadang berharap bahwa saya dapat terus menemani dan mendampingi pasien tersebut sampai benar-benar sembuh. Apakah memungkinkan? Tentu saja tidak.
Mungkin banyak dari kita yang memiliki kekhawatiran serupa. Dalam kebimbangan saya, akhirnya saya sadar bahwa kita sebagai dokter memiliki banyak keterbatasan. Banyak sekali hal yang tidak dapat dikontrol dalam hubungan antara dokter dan pasien. Apa yang dapat kita kontrol hanyalah memberikan yang terbaik untuk pasien kita. Berdasarkan definisi tersebut kita diingatkan bahwa harus memiliki kesediaan untuk melihat pasien secara keseluruhan walaupun hal ini dibutuhkan waktu serta energi lebih. Kita harus mau terus untuk diajar dan belajar dari setiap pasien yang kita temui setiap hari. Lalu sisanya kita serahkan kepada Tuhan. Saya menulis ini sebagai peringatan juga agar saya terus diberikan kerendahan hati untuk boleh terus melayani dan selalu memberikan yang terbaik untuk pasien. All by His grace.
Sumber:
- Thomas JM, Cooney LM, Fried TR. Prognosis reconsidered in light of ancient insights—from Hippocrates to modern medicine. JAMA Internal Medicine. 2019 Jun 1;179(6):820-3.
- Stone P, Vickerstaff V, Kalpakidou A, Todd C, Griffiths J, Keeley V, Spencer K, Buckle P, Finlay D, Omar RZ. Prognostic tools or clinical predictions: Which are better in palliative care?. PLoS One. 2021 Apr 28;16(4):e0249763.